kampoeng djoglo

bukan kampung biasa

 
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Reaktualisasi Pembangunan Ecocity: Dari Curitiba Untuk Kota Semarang
Kamis, November 22, 2007


Oleh: Rusmadi

Curitiba, sebuah kota di Negara Bagian Parana, Brasilia, disebut-sebut sebagai sebuah kota masa depan. Curitiba berhasil mengembangkan kota secara padu dan berkesinambungan yang meliputi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam mencanangkan programnya, pengembangan Kota Curitiba selalu memegang prinsip keramahan lingkungan. Selain itu, Curitiba juga merupakan kota yang sangat kreatif (creative city), karena dengan modal yang sangat minim ia mampu menghasilkan penataan kota yang optimal. Karena keberhasilannya, oleh ICLEI (International Council for Local Environmental Initiatives),
Curitiba juga disebut-sebut sebagai proyek percontohan bagi pengembangan kota yang padu dan berkesinambungan. Program yang paling menonjol misalnya adalah transportasi publik dan tata kota yang berwawasan lingkungan.

Di bidang transportasi publik misalnya, Curitiba menggunakan sistem transportasi masal yang sangat efektif karena mampu mengurangi kemacetan, murah (low technology) dan ramah lingkungan. Selain itu, sistem transportasi ini juga didesain untuk pengembangan kota, yakni dengan jalur yang mengilingi seluruh kota. Secara tidak langsung dengan sarana transportasi yang mencakup seluruh kota maka kegiatan ekonomi juga akan terpacu secara signifikan.

Sementara di bidang penataan kota misalnya, Curitiba senantiasa memperhatikan keramahan lingkungan. Pembangunan kota yang disertai pembuatan taman-taman kota, daerah resapan air, dan pengelolaan sampah yang profesional dan melibatkan seluruh stake holders termasuk masyarakat, merupakan sistem penataan kota yang padu dan berwawasan lingkungan. Taman-taman kota sebagai kawasan hijau kota mampu menyediakan oksigen yang dibutuhkan oleh masyarakat dan sekaligus mampu berfungsi sebagai daerah resapan air. Pembangunan sungai-sungai dengan memperhatikan sifat kealamiahan sifat air dan tidak membuat bangunan di dekat sungai sangat membantu menciptakan kota yang aman dari banjir, juga sekaligus memperluas daerah serapan air. Sementara pengelolaan sampah yang melibatkan partisipasi masyarakat dengan memberikan insentif kepada masyarakat berupa tikcet angkutan umum dan buku-buku yang bermanfaat, sangat membantu menciptakan kesadaran lingkungan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah dengan mengumpulkan sampah dan memisahkannya sesuai dengan janisnya, misalnya organik dengan organik, dan non-organik dengan non-organik sangat memiminimalisir resiko sampah.

Dengan langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Curitiba, penulis akan mencoba membandingkannya dengan Kota Semarang, meski sebenarnya penulis paling tidak suka dengan model perbandingan, karena setiap kota tentu memiliki keunikan dan kekhasan persoalan yang tidak mesti sama. Dalam tulisan ini penulis hendak “mengambil pelajaran” dari menejemen tata kota di Curitiba tetapi fokus pada aspek visi pengembangan kota yang padu dan berwawasan lingkungan. Artinya, wawasan lingkungan menjadi alat optik untuk melihat bagaimana keterpaduan pengembangan sebuah kota. Hal ini menarik karena persoalan lingkungan, seperti banjir, krisis air dan polusi udara seringkali menjadi persoalan akut bagi kota-kota di Indonesia, termasuk Semarang. Oleh karenanya dalam tulisan ini, penulis tidak hanya melihat Curitiba dan Semarang, akan tetapi mencoba juga belajar dari Jakarta. Kota Jakarta mejadi menarik untuk dijadikan studi kasus, mengingat Semarang memiliki kesamaan dengan Jakarta, baik secara geografis maupun problem yang dihadapinya. Selain itu, Jakarta merupakan salah satu kota yang mulai mencoba menerapkan prinsip-prinsip tata kota seperti Curitiba, dengan proyek Bus Way dan Taman Kotanya.

Baiklah, mari kita mulai dari sisi geografis. Kota Semarang terkenal dengan landscape-nya yang naik- turun, sehingga di beberapa titik kota kita dapat melihat pemandangan Kota Semarang yang sangat indah untuk dinikmati pada malam hari. Secara geografis masyarakat Semarang sering membagi Kota ini menjadi dua bagian, yakni Kota Bawah dan Kota Atas. Kota Semarang mempunyai 16 kecamatan dan 4 kecamatan di antaranya terletak di Kota Atas.

Kota bawah Semarang terletak di dataran rendah Kota Semarang. Di kawasan ini seringkali dijumpai masalah banjir yang disebabkan oleh luapan air laut yang kita kenal sebagai rob, terutama di daerah sepanjang utara kota. Rob di Kota Semarang muncul hampir setiap hari tanpa harus menunggu musim hujan datang. Sementara di kota bawah yang lainnya berlangsung hampir seluruh aktivitas ekonomi Kota Semarang, seperti kawasan Simpang Lima yang terkenal dengan aktivitas belanja dan kulinernya, atau kawasan Pandanaran dan Pemuda dengan gedung-gedung perkantorannya. Untuk daerah industri ditempatkan di pinggir batas Kota Semarang seperti daerah Tugu (berbatasan dengan Kota Kendal) ataupun daerah Kaligawe (berbatasan dengan Kota Demak).

Sementara Kota Atas terletak di sebelah selatan yang merupakan dataran lebih tinggi. Di beberapa titik di Kota Atas, kita bisa melihat pemandangan Kota Semarang seperti kawasan Gombel yang sudah sangat terkenal itu. Karena kelebihannya itu di Gombel pada malam hari sangat aktif dengan kegiatan kulinernya, karena beberapa restoran dan kafe kecil memanfaatkan pemandangan Kota Semarang di malam hari untuk disajikan pada tamu-tamunya.

Sebagaimana pernah dikemukakan di muka, pada kesempatan ini penulis akan mencoba melihat bagaimana visi pengembangan Kota Semarang, dilihat dari sudut pandang visi pengembangan kota yang integral dan berwawasan lingkungan. Artinya, sudut pandang ini digunakan untuk mengoptik menejemen pengembangan Kota Semarang mengenai aspek kepedulian lingkungan, seperti polusi udara, krisis air, banjir, dll. Nampaknya, dengan pengamatan sederhana penulis melihat bahwa pengembangan kota berwawasan lingkungan merupakan faktor yang sering dilupakan oleh pemerintah kota, sehingga menjadi tidak integral visi perngembangan kotanya. Oleh karenanya, penulis melihat aspek kepedulian lingkungan menjadi penting untuk dikemukakan.

Di musim penghujan seperti sekarang ini pastilah sebagian masyarakat kota Semarang yang ada di wilayah bawah merasa was-was, karena setiap kali hujan biasanya mereka selalu waspada akan hadirnya bahaya banjir yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Selain bahaya banjir, mereka juga harus waspada terhadap genangan rob yang reguler dialaminya. Masalah banjir sepertinya menjadi menu wajib bagi kota-kota besar, terbukti beberapa tahun belakangan ini Jakarta tenggelam oleh bencana banjir. Banjir besar di Jakarta telah menjadi siklus 5 (lima) tahunan, hal tersebut telah terbukti meskipun Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso pernah menepis anggapan tersebut. Sutiyoso meyakinkan warga Jakarta bahwa tidak akan terjadi bencana banjir di tahun ini, dan tidak ada siklus banjir lima tahunan di Jakarta. Namun kini terbukti sudah bahwa siklus lima tahunan tersebut benar-benar terjadi. Lima tahun setelah tahun 2002, pada bulan yang sama (Februari), banjir besar tersebut datang kembali. Banjir di Jakarta disebabkan oleh berbagai masalah, air kiriman dari daerah atas seperti Depok dan Bogor dikatakan sebagai salah satu pemicu bencana ini. Belum lagi curah hujan yang tinggi, yang terjadi di kota Jakarta pada hari yang sama. Bukan itu saja, masalah sampah dan ketidak mampuan saluran air menampung debit air yang besar, juga merupakan penyebab terjadinya bencana banjir.

Dari bencana banjir yang terjadi di Jakarta tersebut selayaknya-lah Kota Semarang dapat belajar banyak. Kondisi geografis yang hampir sama dengan Jakarta (terdapat wilayah atas dan wilayah bawah) memungkinkan terjadinya hal yang sama. Banjir kiriman dari wilayah atas (daerah Ungaran, Gunung Pati, Mijen dan Boja) nantinya dapat memicu terjadinya banjir kiriman seperti yang terjadi di Jakarta belakangan ini, kendati tidak separah Jakarta karena banjir kiriman bisa datang dari luar daerah. Daerah atas yang berubah wajah menjadi perumahan adalah potensi besar atas terjadinya banjir di masa depan. Berkurangnya daerah resapan air akibat penebangan hutan untuk pembangunan kawasan perumahan dan pabrik yang tidak berwawasan lingkungan (tidak memperhatikan AMDAL) menjadi penyebab terjadinya masalah ini di kemudian hari. Aliran air, berdasarkan hukum alam akan mengalir dari tempat atas ke wilayah bawah, begitu juga ketika nantinya daerah resapan air di wilayah Semarang Atas berkurang, maka secara alamiah, kelebihan air tersebut akan mengalir ke Semarang bawah.

Sekarang pun sebenarnya banjir kiriman telah terjadi di Semarang, lihat saja di wilayah Mangkang yang belum lama ini tergenang banjir kiriman. Penebangan hutan dan penggundulan lahan di sekitaran dataran tinggi Mijen dan Ngaliyan diprediksi sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir di wilayah Mangkang. Bencana yang belum begitu besar tersebut sebenarnya dapat menjadi contoh agar kota ini selalu berhati-hati terhadap bencana banjir. Manajemen banjir di Semarang mungkin bisa lebih baik dari Jakarta, karena Semarang memiliki dua kanal untuk mengalirkan aliran air banjir yaitu Banjirkanal Barat dan Banjirkanal Timur yang dibangun saat pemerintahan Belanda, dan juga tersedianya polder untuk menampung air. Lain halnya dengan Jakarta yang hanya memiliki satu Banjirkanal (Barat), dan pembangunan Banjirkanal Timur baru dimulai pada akhir tahun 2006 lalu. Namun dengan segala keunggulan teknis tersebut, kota Semarang tetap harus berjaga-jaga akan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Selama ini pemerintah kota hanya berfikir secara teknis bagaimana agar aliran banjir dapat segera terbuang/teralirkan ke laut, tetapi pemerintah kota meng-anaktirikan penanggulangan banjir secara sosial. Pemkot melupakan gerakan edukasi untuk merubah kebiasaan dan pola pikir masyarakat tentang kelestarian lingkungan. Penyuluhan tentang pembangunan wilayah yang berwawasan lingkungan. Kadang-kadang malah pihak swasta yang ber-uang, dapat dengan mudah melanggar Master Plan Kota Semarang. Daerah yang seharusnya dikhususkan untuk pemukiman, malah dibangun gedung pencakar langit seperti Hotel dan Pasar Raya. Pembangunan pertokoan, pemukiman dan perkantoran pun tidak menerapkan prosentase daerah resapan, semua sibuk membangun dan menutup tanah dengan semen, sehingga air tidak dapat meresap ke dalam tanah, dan hanya dapat mengalir ke tempat rendah. Hasilnya tentu saja bisa kita tebak, krisis air di Kota Semarang.

Belum lagi masalah air rob, kondisi seperti ini akan mempersulit air banjir mengalir ke laut, hal ini bisa menjadi potensi bencana banjir di kota ini apabila segenap komponen kota Semarang tidak menyadari hal tersebut sedini mungkin. Sayangnya pemerintah kota seringkali menutup-nutupi problem air rob ini. Problem air rob, sebenarnya tidak hanya berimbas pada persoalan lingkungan saja, melainkan juga berakibat munculnya problem sosial, seperti misalnya menciptakan karakter masyarakat yang keras, ketidakharmonisan keluarga dan lain sebagainya. Masyarakat sebenarnya sudah menuntut problem air rob sebagai bencana nasional. Tetapi lagi-lagi pemerintah kota nampaknya tidak sehaluan dengan keinginan masyarakat.

Untuk mengatasi problem lingkungan, seperti polusi udara, krisis air, dan banjir, kita harus mengembangkan kota secara integral dan berwawasan lingkungan. Menurut hemat penulis, kedua hal ini penting dan tidak bisa dipisahkan karena tanpa keduanya, penyelesaian masalah untuk pengembangan kota justru akan menciptakan problem baru, dan terkadang justru lebih rumit dan parah. Sebagaimana fokus tulisan ini, kita bisa belajar dari menejemen Kota Curitiba yang memiliki motto Design by Nature.

Di Curitiba pemerintah memberikan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat. Cara ini dijalankan dengan membentuk lembaga semacam “Universitas” yang berfungsi untuk pendidikan lingkungan bagi masyarakatnya secara gratis. Selain memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat, Curitiba juga melakukan pengelolaan sampah dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat diminta secara aktif mengelola sampahnya mulai dari rumah per rumah dengan melakukan pemisahan sampah (organik dengan organik, non-organik dengan non-organik) untuk kemudian ditukarkan kepada pemerintah dengan buku dan tiket angkutan umum. Selain itu, Curitiba juga sangat memperhatikan krisis air, dan polusi udara. Daerah-daerah resapan air benar-benar mendapatkan perhatian yang serius, misalnya dengan menyediakan taman-taman kota yang berfungsi sebagai resapan air dan produksi oksigen sekaligus sebagai tempat rekreasi bagi warganya. Langkah yang lain misalnya bisa kita lihat dengan bagaimana cara pemerintah Kota Curitiba mengatasi kemacetan transportasi, yang nota bene-nya merupakan penyumbang terbanyak bagi polusi udara. Untuk mengatasi kemacetan transportasi dan polusi udara, pemerintah Curitiba menerapkan sistem transportasi masal. Dengan sistem transportasi masal ini, problem kemacetan dan polusi udara cukup bisa diminimalisir.

Nampaknya apa yang dilakukan oleh Curitiba sedang dicanangkan oleh Jakarta। Saat ini –selain proyek Bus Way- Jakarta sedang gencar membangun Taman Kota. Taman Menteng adalah salah satu wujud dari program ini. Tetapi nampaknya, Jakarta kemudian mengalami kesulitan untuk mendapatkan lahan. Di Semarang nampaknya belum begitu bergairah untuk mengembangkan menejemen pengembangan kota yang terpadu (integral) dan berwawasan lingkungan. Secara pribadi saya belum bisa berharap banyak dengan motto: “Kota Semarang sebagai Kota Metropolitan yang religius, berbasis perdagangan dan jasa” sudah merepresentasikan visi pengembangan kota yang integral dan berwawasan lingkungan. Oleh karenanya, visi pengembangan kota sebagaimana Kota Curitiba bisa dijadikan contoh untuk pengembangan Kota Semarang ke depan. Tentu saja model dan cara penerapannya bisa saja sama sekali berbeda dengan Curitiba, karena Semarang tentu memiliki ke-khasan persoalan yang berbeda dengan Curitiba. Tetapi setidaknya, visi pengembangan kota yang padu dan berwawasan lingkungan merupakan pondasi yang paling dasar untuk pengembangan Kota Semarang.**)

posted by RUSMADI the rose @ 16.34.00  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me

Name: RUSMADI the rose
Home: Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia
About Me: ... adalah Staf Ahli Bidang Riset dan Mediasi pada ILHAM Institute Semarang. aktif di LAKPESDAM NU Jawa Tengah. pendidikannya sering meloncat-loncat, pernah di pesantren, pernah sekolah di IAIN Walisongo Semarang, dan saat ini sedang melanjutkan sekolahnya pada Program Pascasarjana Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata Semarang. kadang-kadang masih suka membaca, dan berorganisasi. cita-citanya sih kayaknya tinggi banget, tapi gak tahu apa yang dicita-citakan, soalnya cita-cita kata bocah katrok satu ini tidak boleh diomongain tapi dijalanin, soalnya kalau hanya keinginan so pasti banyak yang bisa, tapi kalau udah "perjuangan" susah cari orang yang mau, he he he... moto hidupnya aja keren abis, "keras dalam prinsip lunak dalam bertindak" ...
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Powered by

BLOGGER

© 2005 kampoeng djoglo Blogspot Template by Isnaini Dot Com