kampoeng djoglo

bukan kampung biasa

 
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Krisis Lingkungan Dalam Bingkai Teori Strukturasi: Antara Governance dan Govermentality Lingkungan
Rabu, Februari 13, 2008

Oleh: R u s m a d i

I. PENDAHULUAN
Apa yang saya bayangkan degan judul di atas sebenarnya sangat sederhana, yakni pertama; bagaimana sebuah problem diposisikan dan atau dioptik. Biasanya hasil dari kerja memposisikan ini berujung pada pengetahuan mengenai akar masalah [atau tepatnya penyebab] dari munculnya sebuah problem, dan untuk kemudian mencoba mengetahui bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang aktor –meminjam bahasa Antonio Gramsci- untuk merespon problem tersebut. Kedua; pada prinsipnya krisis lingkungan tak ubahnya adalah hampir sama dengan problem sosial di dalam teori sosial. Jadi posisi krisis lingkungan dalam analisa tulisan ini mencoba menyamakan, atau setidaknya memposisikan sama antara krisis lingkungan dengan problem sosial. Apakah problem sosial dan perubahan sosial bisa diatasi dengan peran individu yang lebih dominan, atau justru struktur yang lebih dominan, dan atau bisa diselesaikan dengan paradigma ketiga, yakni mempertemukan keduanya dengan cara menemukan lingkage-nya masing-masing. Memposisikan problem krisis lingkungan sejajar dengan problem sosial, dengan demikian, nampaknya tidak begitu berlebihan. Hemat saya, inilah perdebatan paling awal mengenai bagaimana governance lingkungan dipraktekkan.

II. PEMBAHASAN

  1. Modernisme, Kapitalisme dan Krisis Lingkungan Global

Penulis menempatkan modernisme dan kapitalisme secara bersamaan dikarenakan keduanya merupakan pemilik saham terbesar munculnya krisis lingkungan. Ketika alam pemikiran modern dengan segala apa yang ditawarkannya menjadi pandangan dunia bagi kebanyakan manusia modern, ternyata memunculkan berbagai absurditas bagi kelangsungan hidup manyusia itu sendiri dan juga memunculkan krisis lingkungan. Hal pertama yang pantas untuk dituduh adalah dominasi nalar antroposentrisme dalam poros pemikiran modern yang begitu mengagungkan eksistensi manusia karena rasionalitasnya dengan mengsubordinasikan eksistensi yang lain yang tidak rasional, termasuk alam dan ekosistemnya. Pengertian modern (modernitas) di sini tentu tidak hanya merujuk pada sebuah periode sejarah setelah abad pertengahan, ataupun sebuah pengalaman kultural tertentu, melainkan juga merujuk pada bangunan epistemologis dan filosofis yang memikirkan karakter tertentu mengenai pengetahuan dan kebenaran.

Secara historis kesadaran akan modernitas ini berawal dari masa Renaisance pada abad ke-16 dan memuncak pada Aufklarung pada abad ke-18. Pada masa-masa inilah kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan alam semesta mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!). Secara filosofis, tokoh besar yang merumuskan semangat modernitas adalah Rene Descartes. Ungkapannya yang teramat masyhur Cogito ergo sum telah menandai kesadaran baru ini: pertama, manusia atau “aku” adalah subjek yag menghadapai alam lahiriah yang dibedakan dengan alam batiniah, dan kedua, bahwa pengetahuan manusia mengenai kenyataan adalah produk pemikiran mereka sendiri dan bukan berasal dari tradisi atau wahyu.[1]

Dengan kata lain, alam pemikiran modern adalah masa di mana rasionalitas manusia muncul dan menggeser segala otoritas non-rasio. Ini berarti keyakinan selama ini: bahwa tradisi atau dogma agama sebagai sumber otoritas yang dianggap mampu menjawab segala pertanyaan tentang semesta dan problem-problem yang dihadapi umat manusia, mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, hanya manusia dengan kemampuan rasionyalah yang mampu memahami kenyataan dengan benar dan mampu menjawab perkembangan zaman. Optimisme terhadap kemampuan rasio ini pada akhirnya melahirkan gagasan modern tentang progress, yang merupakan kesadaran akan waktu yang khas dan dihayati sebagai sebuah garis lurus menuju kemajuan (linieritas). Dalam kesadaran baru ini perjalanan waktu tidak melangkah secara repetitif dan imitatif melainkan bergerak linear secara pasti. Kesadaran baru ini meyakini bahwa kekinian adalah peningkatan kualitatif atas kelampauan dan berikutnya menjadi modal peningkatan masa mendatang.[2]

Keyakinan akan rasionalitas manusia dan kepastian akan kemajuan ini pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologis. Dengan sains dan teknologi ini, umat manusia berusaha merealisasikan cita-citanya untuk menguasai alam, dan menghadirkannya untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Namun demikian berbagai peristiwa faktual menunjukkan realitas yang lain. Sains dan teknologi telah membawa bencana yang mahadahsyat; dua perang dunia, konflik ideologi, kemiskinan dan kelaparan, serta krisis lingkungan yang justeru mewarnai optimisme modernitas ini. Dari sinilah lalu cita-cita modernitas dengan segala pranata intelektual dan sosialnya dipersoalkan. Rasio manusia yang diyakini akan membawa dunia ini menjadi lebih baik (better world) malah memupuskan harapan dan cita-citanya sendiri tentang kedamaian, kebahagiaan, dihormatinya martabat kemanusiaan, dan keberlangsungan hidup ekologis. Ya dengan kata lain modernisme telah melahirkan struktur pengetahuan yang dilandasi dengan semangat antrophosentrisme. Sebuah pandangan yang sama sekali hanya berpihak pada manusia, bukan lingkungan. Inilah yang di kemudian hari dituduh sebagai biang kerok munculnya krisis lingkungan.

Hans Kung, adalah salah satu di antara sejumlah pemikir yang mengkritik modernitas. Dengan lugas ia menegaskan bahwa kemajuan sains modern yang sepenuhnya bersandar pada rasio tidak seluruhnya membawa kemajuan umat manusia, begitu juga rasionalitas sains dan teknologi. Rasio pencerahan akhirnya jatuh pada irrasionalitas dan tenggelam dalam jurang kehancuran karena pemikiran saintifik dan teknologi tidak bisa memberikan dasar jawaban bagi problem-problem yang diakibatkannya. Tepatnya, pemikiran modern tidak mampu memberikan kerangka etika global untuk mengantisipasi dampak kemajuan dan perkembangan kehidupan modern sendiri yang semakin terdiferensiasi dan tersekularisasi. Hans Kung kemudian menawarkan gagasan tentang etika global pasca modernis, yang baginya mampu menjadi landasan atik bagi masyarakat global yang telah hancur oleh gempuran modernitas.[3]

Apa yang telah penulis kemukakan mengenai problem modernisme tersebut di atas belumlah berakhir. Terdapat problem krusial sebagai kelanjutan dari modernisme. Kita telah mafhum bahwa dari rahim modernitas inilah lahir “anak kandung” yang kita sebut sebagai “globalisasi”. Globalisasi, dengan tanpa bermaksud menafikan sumbangsihnya, telah mengakibatkan hilangnya identitas kultur nasional dan eksploitasi terhadap negara-negara berkembang menjadi kian tampak. Begitu dominannya motivasi ekonomi dalam relasi antar negara adalah salah satu bukti yang sulit terbantahkan, bagaimana eksploitasi dipraktikkan oleh kapitalisme global. Banyak konsep diciptakan negara maju baik di bidang ekonomi, politik, demokrasi, perlindungan HAM, pengelolaan lingkungan hidup sampai pada konsep good governance yang bertujuan menciptakan demokratisasi, kelestarian lingkungan, perlindungan HAM, maupun terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Tetapi pada kenyataannya, antara konsep dan implementasinya sering terjadi kesenjangan. Negara maju yang menguasai teknologi dan akumulasi kapital justru sering memberlakukan standar ganda, berlaku tidak fair dan menggunakan isu tersebut untuk menekan dan memperlemah daya saing negara berkembang. Tujuannya menguasai dan menciptakan ketergantungan. Konsep perdagangan bebas (free trade) misalnya, dengan jiwanya yang liberal, ibarat mempertemukan dalam suatu pertarungan antara gajah dengan kambing. Dari segi SDM, penguasaan teknologi, kecukupan modal, dan kualitas produk misalnya, negara berkembang tentu jauh tertinggal dengan negara maju. Dari sudut politik dagang, konsep pasar bebas sebenarnya adalah upaya negara maju untuk memperlemah daya saing negara berkembang.

Selain itu, konsep good governance -yang sering dimaknai sebagai pengelolaan atau pengarahan yang baik dengan menciptakan penyelenggaraan negara yang solit, bertanggung jawab, efektif dan efisien, dan menjaga keserasian interaksi yang konstruktif di antara domain negara, sektor swasta dan masyarakat- pada kenyataannya digunakan oleh negara maju tidak lebih sebagai alat ekonomi, yakni untuk memuluskan jalan investasi dan memperlemah daya saing negara berkembang. Diciptakannya standar penilaian tingkat daya saing produk suatu negara berkaitan penilaian terhadap kinerja good governance khususnya berkaitan dengan good corporate governance (good governance untuk sektor bisnis).

Jika good governance dipahami sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik, sebenarnya mempunyai kesamaaan dengan fungsi manajemen dan sistem operasi prosedur. Kesamaannya adalah ketiganya sama sebagai strategi, cara atau metode berkenaan dengan pencapain tujuan bersama (bukan orang-seorang). Pada kenyatanya negara-negara maju mengusung konsep ini terutama di negara berkembang, dengan satu tujuan utama bukan untuk membuat mekanisme administrasi dan birokrasi negara menjadi “bersih” dan “demokratis”, akan tetapi lebih pada kepentingan utamanya yaitu mengghilangkan hambatan dan memuluskan jalannya investasi kaum kapitalis.

Dengan demikian, kata kunci good governance itu tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari paradigma neo-liberalisme yang sedang dikampanyekan oleh IMF, Bank Dunia, dan Lembaga-Lembaga Donor lainnya, baik yang bersifat lembaga non-pemerintah, pemerintah atau kombinasi keduanya. Mereka banyak menyokong gerakan antikorupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan dan bertanggungjawab dengan kata kuncinya gerakan tersebut ingin mewujudkan good governance. Kita boleh mengacungi jempol tentang kepeduliannya untuk membantu suatu negara menciptakan good governance. Yang harus diwaspadai adalah agenda-agenda terselubung dan landasan pemikiran aktivitas lembaga donor tersebut, yakni agenda kaum kapitalis.

Secara tegas Jagjit Kaur Plahe dan Pieter van der Gaag, sebagaimana dikutip oleh Sonny Keraf, menuduh dan bahkan tidak mempercayai aktivitas negara-negara donor dalam mengusung konsep tersebut tidak diikuti oleh kepentingan ekonomi. Ia menengarai bukan kegiatan yang berdiri sendiri dan murni untuk membuat suatu negara lebih demokratis dalam pelaksanaan birokrasi administrasinya, akan tetapi kesemuanya itu tidak lebih sebagai manifestasi dari paradigma neo-liberalisme, yang dikampanyekan oleh Bank Dunia (World Bank) dan kedua “saudara kandungnya” yaitu International Monetary Found (IMF) dan Wold Trade Organitation (WTO).[4] Dari sini tampak jelas kemana konsep good governance sebetulnya diarahkan, yakni bukan untuk menyiapkan negara berkembang dan negara tertinggal untuk menyongsong kepenglolaan pemerintahan yang baik dan menumbuhkan demokratisasi, akan tetapi sebagai instrumen ekonomi kapitalis.

Mengapa demikian? Ya, karena pada dasarnya konsep good governance lahir dari rahim dunia usaha (korporat). Ia lahir karena ada desakan untuk menyusun sebuah konsep yang berfungsi menciptakan pengendalian (bukan sekedar pengawasan) yang melekat (built in) kepada korporasi dan manajer profesionalnya. Tujuannya adalah pengelolaan usaha harus benar-benar memberikan manfaat kepada pemiliknya. Rujukan paling jelas adalah ketika pada akhir tahun 1980-an terjadi proses pembelajaran dalam kegiatan sektor publik tentang bagaimana menciptakan pengendalian itu. Salah satu buku yang menjadi rujukan bagi setiap manajer sektor publik adalah karangan David Osborne dan Ted Gaebler dengan judul Reinventing Government: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Bersamaan dengan itu konsep good governance menjadi populer dan lembaga-lembaga dunia seperti PBB, bank Dunia dan IMF meletakkannya sebagai kriteria untuk memberikan penilaian sebagai negara “baik” dan “berhasil dalam pembangunan”, bahkan dijadikan “semacam” kriteria untuk memperoleh bantuan optimal.[5] Globalisasi, karena motif ekonominya yang sangat dominan, dengan demikian, pada akhirnya tidak ramah terhadap lingkungan. Lingkungan tidak lain dan tidak bukan adalah sumber daya yang harus dieksploitasi sebesar-besarnya demi kepentingan ekonomi.[6]

  1. Antara Governance dan Govermentality: Belajar dari Teori Strukturasi.

Dari ulasan di atas kita telah mengetahui bahwa pemilik saham terbesar munculnya krisis lingkungan adalah dua narasi besar, yakni alam pikiran modernis yang antroposentris dan globalisasi ekonomi yang juga antroposentris, lalu bagaimana kita menempatkan posisi secara strategis memainkan peran; apakah lebih mempercayakan kepada struktur, individu atau pertautan keduanya di dalam upaya mengatasi krisis lingkungan?

Sebagai sebuah landasan berpikir, nampaknya perlu dikemukakan terlebih dahulu mengenai asumsi-asumsi dasar teori sosial. Dalam memahami teori-teori sosial, kita tidak bisa melupakan begitu saja tiga toeri sosial paling hegemonik di dunia saat ini, yakni teori struktural fungsional, struktural konflik, dan konstruksionisme. Para penggemar ilmu-ilmu sosial sering menyebutnya sebagai sebuah narasi agung (the grand narative). Teori sosial sebenarnya adalah sebuah teori yang mencoba memahami “bagaimana proses dan tertib sosial berlangsung”. Beberapa asumsi yang kemudian menjadi titik pijak bagi munculnya teori-teori sosial adalah: 1). proses dan tertib sosial berlangsung karena bentukan atau produk dari masyarakat. 2). proses dan tertib sosial berlangsung karena bentukan atau produk dari individu. 3). proses dan tertib sosial berlangsung karena adanya tarik menarik antara individu dan masyarakat.

Adalah Alivin W Gouldner (1971) yang memulai mengutarakan pemikirannya, bahwa proses dan tertib sosial berlangsung tergantung pada asumsi yang mendasari cara seseorang memandang manusia dan masyarakat. Asumsi atas disposisi tentang keyakinan bahwa manusia adalah rasional atau irasional, masyarakat adalah berubah atau secara fundamental stabil, masalah dalam masyarakat akan baik dengan sendirinya tanpa intervensi yang direncanakan, perilaku tidak bisa diprediksi, dll. Paradigma ini masih memposisikan individu memiliki peran penting untuk menkonstruksi tatanan dunia. Dengan demikian, menurut paradigma ini, krisis lingkungan bisa diatasi dengan memaksimalkan peran individu di dalam menciptakan tatanan dunia yang bebas dari krisis lingkungan. Paradigma ini telah melahirkan teori sosial yang beraliran fenomenologis dan juga konstruksionisme ala Max Weber.

Sementara Kenneth Thompson dan Jeremy Tunstall (1973) mengusulkan kebalikan dari paradigma yang disuguhkan oleh Alivin W Gouldner di atas. Bagi Thompson dan Tunstall, proses dan tertib sosial berlangsung tergantung pada bagaimana memahami makna “manusia dalam masyarakat”. Paradigma ini mengasumsikan pentingnya sistem sosial daripada individu. Pada asumsi ini masyarakat diasumsikan sebagai kendala yang menguasai individu atau sebaliknya juga sebagai penggerak perubahan. Oleh karenanya, masyarakat dan sistem sosialnya (struktur) merupakan pilar terpenting untuk membentuk tatanan dunia yang bebas dari krisis lingkungan. Paradigma ini telah menghasilkan dua teori sosial yang menekankan pada “dominasi struktur”, yakni teori struktural fungsional (Emile Durkheim dan Persons), dan teori struktural konflik (Karl Marx, dan Neo Marxis).

Lain lagi dengan Antony Giddens yang mencoba untuk tidak percaya lagi dengan para pendahulunya. Bagi Giddens, proses dan tertib sosial berlangsung bukan lagi bergantung pada individu (tatanan mikro) maupun masyarakat dengan sistem sosialnya (tatanan makro), melainkan karena adanya linkage/pertautan antara mikro dan makro, subjek dan objek. Dengan gayanya yang khas ini, Giddens kemudian menawarkan teori strukturasi yang menoba menunjukan bahwa dalam kehidupan sosial terdapat hubungan antara tindakan pemahaman atau penafsiran seseorang dengan munculnya sistem sosial yang stabil. Situasi semacam ini berada di luar konsekuensi dari cara seseorang menggambarakan tindakan yang mereka lakukan dalam rangka mewujudkan tujuan. Dengan kaca mata teori strukturasi, kita tidak lagi relevan berbicara siapa yang seharusnya berperan lebih di dalam mengatasi krisis lingkungan, apakah individu ataukan struktur. Karena, menurut paradigma strukturasi, keduanya saling berperan.[7] Baiklah, agar pembahasan ini semakin tidak kehilangan ruhnya, nampaknya perlu terlebih dahulu melihat bagaimana paradigma berbagai aliran teori sosial yang begitu menghegemoni dunia hingga saat ini, dan bagaimana kita akan memakainya di dalam krisis lingkungan.

Pertama; Teori Struktural.[8] Teori struktural memiliki beberapa teori turunannya, yakni struktural fungsional (tokohnya: Auguste Comte dengan teori hukum tiga tahap, Herbert Spencer dengan teori Darwinisme sosial, dan Emile Durkheim dengan teori fakta sosial), struktural konflik (tokohnya: Karl Marx dengan teori konflik pertentangan kelas, dan Antonio Gramsci [neo-Marxix] dengan teori hegemoni), neo-fungsional (tokohnya: Jeffrey Alexander dan Colomy yang mencoba memperbaiki teori struktural fungsional yang terlalu deterministik), dan konflik alternatif (tokohnya: Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randall Collins yang mencoba memperbaiki teori struktural konflik yang dianggapnya terjebak pada analisis ekonomi). Tanpa bermaksud melakukan reduksi, penulis sengaja mengelompokkan beberpa teori tersebut di atas dalam satu frame teori struktural, karena memiliki persamaan paradigmatik, yakni struktur lebih berperan penting di dalam menentukan proses dan tertib sosial serta tatanan dunia. Meski cara pandang masing-masing terhadap struktur berbeda (terutama mengenai hakikat konflik) antara struktural fungsional, struktural konflik, neo-fungsional, neo-marxis, dan konflik alternatif. Secara umum teori struktural dan berbagai teori turunannya tersebut di atas cenderung sangat konservatif, karena menganggap bahwa proses dan tertib sosial serta tatanan dunia berlangsung karena bentukan struktur, individu sama sekali tidak memiliki peran apapun.

Jika kita lihat dari perspektif teori struktural fungsional, maka dalam menyelesaikan krisis lingkungan yang lebih berperan adalah struktur, seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, NGO, dll. Sementara individu tidak memiliki peran yang signifikan di dalam mengatasi krisis lingkungan. Jika mengikuti apa yang ditulis oleh Debra J. Davidson dan Scott Frickel (2004), maka paradigma yang dipakai dalam teori struktural fungsional adalah pluralisme, agency capture, ecological marxisme, dan social construction.[9]

Paradigma tersebut di atas percaya bahwa struktur merupakan pengambil peran utama di dalam menyelesaikan krisis lingkungan. Paradigma pluralisme misalnya, yang lebih memfokuskan pada negara (bukan civil society) yang lebih berperan penting dengan pertimbangan efektifitas penyelesaian krisislingkungan, yakni dengan regulasi dan birokrasi. Begitu juga paradigma Agency Capture yang memfokuskan pada peran negara. Negara dengan kekuatan birokrasinya, bagi paradigma agency capture, berfungsi melayani kepentingan publik. Dalam konteks ini, birokrasi merupakan satu-satunya otoritas yang menjalankan peran penyelesaian krisis lingkungan karena memiliki dua peran sekaligus, yakni menciptakan regulasi demi kepentingan publik, dan sekaligus mengelola atau mengeksploitasi alam demi kepentingan publik dengan berbagai regulasi perlindungan terhadap lingkungan. Begitu juga dengan paradigma Social Constructuion yang menekankan pada peran regulasi negara. Bagi paradigma ini, regulasi negara untuk ligkungan merupakan hasil konstruksi antara negara dan aktor-aktor sosial yang saling berhubungan. Jika kita lihat semua paradigma yang dipakai oleh mereka yang berada di garis strukturalisme, dimana penekanannya diserahkan kepada struktur yang harus terlibat di dalam mengatasi krisis lingkungan dengan mekanisme perintah dan control (command and control aproach), bukan secara volunter (voluntary aproach).

Kedua; Teori Konstruksionisme.[10]Jika strukturalisme lebih percaya pada struktur, maka konstruksionisme justru sebaliknya, ia percaya pada individu-individu yang otonom yang bisa melakukan perubahan sosial. Tradisi konstruksionisme kemudian melahirkan tradisi sosiologi yang berbeda. Di Amerika misalnya melahirkan Sosiologi Interaksionisme, pengagasnya adalah Simmel dan George Herbert Mead. Sementara di Eropa melahirkan sosiologi Fenomenologi, pengagasnya antara lain Max Weber, Alfred Schutz, Bergson, dan E. Husserl). Tokoh utamanya adalah Max Weber (1864-1922). Weber dikenal sebagai seorang yang terlahir dari keluarga menengah. Bapaknya seorang pejabat penting, sehingga tinkah lakunya sangat “mapan” dan “tertib”. Ibunya adalah seorang yang saleh dengan sikap-sikapnya yang asketis. Dari perbedaan sikap hidup kedua orang tuanya inilah Weber muda mengalami ketegangan. Awalnya ia mengikuti gaya hidup ayahnya yang “ditertibkan”, tetapi kemudian ia antipati kepadanya dan memilih mengiuti gaya hidup ibunya yang asketis. Ia mengatur hidupnya sendiri dan menyiapkan malamnya sendiri. Dari sinilah teori sosiologinya dipengaruhi oleh kebiasaannya. Bagi Weber, tindakan individu merupakan bagain terpenting dalam gagasan sosiologisnya. Bagaimana ia melihat individu menjalin dan memberi makna terhadap hubungan sosial dimana individu menjadi bagian di dalamnya. Weber melihat bahwa individu merupakan kunci (yang mempengaruhi) tindakan sosial di dalam masyarakat, tetapi dengan catatan bahwa tindakan sosial individu ini berhubungan dengan rasionalitas (baik rasionalitas instrumental [orientasi pada tujuan tindakan dan alat yang digunakan] maupun rasionalitas yang berorientasi nilai. Individu, dalam bayangan Weber, merupakan pemilik macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya. Individu bergerak “bebas” dan mampu menentukan masyarakat dan strukturnya, meskipun harus ada “kesepakatan” dengan individu-individu yang lain.

Kita mungkin tidak bisa melupakan pandangan fenomenologi dan konstruksi sosial yang diusung oleh E. Husserl dan Alfred Schutz. Fenomenologi merupakan bentuk dari idealisme yang semata-mata tertarik pada struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya kesadaran manusia. Dunia yang kita huni, dalam pandangan fenomenologi, merupakan ciptaan dari kesadaran-kesadaran yang ada di dalam kepala individu masing-masing. Proses bagaimana manusia membangun dunianya adalah melalui proses pemaknaan yang berawal dari arus pengalaman. Fenomenologi menempatkan peran individu sebagai pemberi makna, dan dari proses pemaknaan oleh individu inilah yang kemudian menghasilkan tindakan yang didasari oleh pengalaman sehari-hari yang bersifat intensional. Individu kemudian memilih sesuatu yang “harus” dilakukan berdasarkan makna tentang sesuatu, dan mempertimbangkan pula makna objektif (masyarakat) tentang sesuatu tersebut.

Jika kita lihat dari perspektif teori konstruksionisme, maka dalam menyelesaikan krisis lingkungan yang lebih berperan adalah individu, bukan struktur seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, NGO, dll, sebagaimana diasumsikan oleh teori struktural. Justru dalam perspektif konstruksionisme individu memiliki peran yang signifikan di dalam mengatasi krisis lingkungan. Dan jika mengikuti apa yang ditulis oleh Debra J. Davidson dan Scott Frickel (2004), maka paradigma yang dipakai dalam teori konstruksionisme (interaksionisme dan fenomenologis) adalah ecological modernization dan global environmental.[11]

Paradigma tersebut di atas percaya bahwa individu merupakan pengambil peran utama di dalam menyelesaikan krisis lingkungan. Paradigma ecological modernization misalnya, yang lebih memfokuskan pada bagaimana individu di dalam masyarakat harus memperhatikan kesinambungan lingkungan demi kemanfaatan masa depan di dalam pemanfaatan lingkungan. Begitu juga paradigma Global Environmental. Paradigma ini juga percaya bahwa masyarakat global harus melakukan langkah-langkah dan berperan di dalam mengatasi krisis lingkungan. Biasanya peran ini dimainkan oleh organisasi-organisasi internasional dan NGO lingkungan. Jika kita lihat asumsi keduanya, maka civil society dipandang lebih berperan penting di dalam mengatasi krisis lingkungan. Penekanannya adalah diserahkan kepada masyarakat dan individu yang harus terlibat di dalam mengatasi krisis lingkungan secara volunter (voluntary aproach).

Ketiga; Teori Strukturasi.[12] Dalam perkembangan sosiologi kontemporer, tradisi strukturalisme dan konstruksionisme di atas kemudian mendorong munculnya teori Strukturasi yang diprakarsai oleh Antony Giddens. Teori strukturasi mencoba mencari linkage/pertautan setelah terjadi perseteruan tajam antara struktural fungsional dan konstruksionisme-fenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalis mereduksi aktor dalam struktur, kemudian sejarah dipandang berlangsung secara mekanis, dan bukan suatu produk kontingensi dari aktifitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperialisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakhiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran (struktural fungsional dan konstruksionisme). Dari hasil kerja “mempertemukan” keduanya inilah Giddens merekonseptualisasikan tindakan, sekaligus menawarkan perspektif baru yang disebutnya teori strukturasi.

Bagi Giddens, perubahan sosial bukan muncul hanya dari sang aktor individual, dan juga bukan hanya dari struktur, melainkan muncul di dalam ruang dan waktu. Gidens kemudian menyusun formasi pemikirannya sebagai berikut: 1). Masyarakat bukan merupakan realitas objektif yang telah jadi, melainkan diciptakan oleh tindakan-tindakan anggota-anggotanya sebagai agen yang membutuhkankemampuan dari sang agen, 2). Sang agen tidak bebas memilih bagaimana menciptakan masyarakat, tetapi dibatasi oleh kendala (constraint) lokasi sejarah di luar pilihan mereka sendiri. Struktur dalam hal ini memiliki kapasitas ganda: bisa menjadi kendala, tetapi juga bisa menjadi peluang (enabling) bagi manusia agensi. Setiap tindakan manusia atau struktur mengandung tiga aspek: makna, norma, dan kekuasaan. 3). Sosiolog tidak mungkin menghindari pengalaman mereka sendiri sebagai basis memahami kehidupan sosial, bahkan hal ini harus dipegangi secara konsisten. Sosiolog harus melibatkan diri ke dalam situasi yang menjadi subjek analisisnya. 4). Konsep formasi mencakup double hermenutic. Sosiolog harus menjaga ketelitian dengan konsepnya sehingga sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Tugas utama sosiologi adalah melakukan rediskripsi terhadap seting sosial dengan meta bahasa, dan selalu bisa dikonfirmasi terhadap prinsip bahwa masyarakat merupakan manusia agency. Ungkapan di atas dapat kita pahami bahwa: untuk terjun dalam praktik sosial seorang aktor harus mengetahui cara berpartisipasi sesuai konteks (ruang dan waktu) dan cara mengikuti suatu peraturan. Secara sederhana, sebenarnya Giddens hendak menunjukkan bahwa perubahan sosial akan mungkin bila ada agen dan sekaligus sebuah struktur sebagai mediumnya.

Belajar dari apa yang dikemukakan oleh Antony Giddens, hemat penulis teori strukturasi nampaknya merupakan alternatif yang logis untuk dikembangkan dalam rangka mengatasi krisis lingkungan, meskipun sebenarnya teori strukturasi pada akhirnya juga terjebak kepada struktur, karena usaha mempertemukan keduanya berakhir pada struktur. Dengan kata lain ia tidak lebih dari sebuah usaha yang berbelok-belok yang berakhir pada struktur. Kendati demikian, apresiasi terhadap usahanya mempertemukan antara kedua teori yang berseberangan (strukturalisme dan konstruksionisme-fenomenologis) tampaknya perlu dikembangkan.

Jika dalam teori struktural fungsional yang lebih berperan di dalam menyelesaikan krisis lingkungan adalah struktur, seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, NGO, dll sebagaimana diperagakan oleh pluralisme, agency capture, ecological marxisme, dan social construction. Sementara teori konstruksionisme (interaksionisme-fenomenologis) lebih percaya pada peran individu (bukan struktur) di dalam mengatasi krisis lingkungan, sebagaimana diperagakan oleh ecological modernization dan global environmental. Maka teori strukturasi mencoba mempertemukan keduanya, ia justru memakai dan meletakkan prinsip governance dan govermentality secara sekaligus.

Dengan demikian perdebatan yang men-versuskan antara governance dan govermentality menjadi tidak relevan. Karena pada prinsipnya governance merupakan tata kelola kepemerintahan yang melibatkan berbagai stake holder (state, civil society, dan private sector), karena governance menolak negara yang otoritatif.[13] Jika governance percaya kepada peran civil society, maka ia justru mensyaratkan govermentality (mastering the self), sebagai bagian dari proses penguatan masyarakat sipil (civil society). Dengan kata lain govermentality merupakan prasyarat governance. Hemat saya antara keduanya (bahkan ketiganya (goverment) bisa dipertemukan dalam bingkai bersama-sama mengatasi krisis lingkungan. Usaha mempertemukannya, kita bisa belajar dari usaha Antony Giddens mempertemukan dua aliran dalam teori sosial yang bersebrangan dengan menemukan pertautan atau lingkage-nya masing masing. Jika digambarkan dalam bentuk diagram, maka pertautan antara governance, govermentality, dan goverment akan tampak seperti berikut ini:




III. KESIMPULAN DAN PENUTUP

Demikianlah beberapa pokok pikiran mengenai bagaimana problem krisis lingkungan diposisikan dalam teori strukturasi. Teori ini begitu memberikan gambaran yang menolak ekstrimisme dua kubu yang berdiri berseberangan, yakni teori strukturalisme dan konstruksionisme-fenomenologis. Belajar dari bagaimana teori strukturasi mempertemukan kedua kubu yang berseteru itu, kita juga bisa “mempertemukan” perdebatan yang meng-versuskan antara governance dan govermentality oleh sebagian orang. Usaha mempertemukan ini didasarkan pada asumsi bahwa governance sebenarnya mensyaratkan govermentality. Tulisan ini tentu banyak kekurangan, setidaknya melalui kesadaran ini penulis berharap saran dan kritik yang konstruktif.

DAFTAR BACAAN

A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta, 2002.

Debra J. Davidson dan Scott Frickel, Understanding Environmental Governance, dalam Organization and Environment, Vol. 17. No. 4, Desember 2004.

F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003.

Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, New York: Crossroad Publishing Company, 1991.

http://www.menpan.go.id/main_news.asp?id=104,

Jon Pierre (ed), Debating Governance: Authority, Steering, and Democracy, Oxford University Press, New York, 2000.

Zainuddin Maliki, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik, LPAM (Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat), Surabaya, 2003.



[1] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hlm. 95

[2] F. Budi Hardiman, Ibid. hal. 96

[3] Lihat Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, New York: Crossroad Publishing Company, 1991. Dalam bagian awal bukunya ini, Kung secara deskriptif menelanjangi cacat dan tragedi kemanusiaan yang dihasilkan oleh patologis modernitas (hilangnya tradisi dan makna hidup, hilangnya kriteria etika tanpa syarat, dll). Tragedi ini meliputi: pembunuhan dan kematian jutaan manusia akibat perang, kemiskinan dan kelaparan, kerusakan dan pencemaran lingkungan oleh industri-industri besar, dan juga bencana pemanasan global. Selain itu, dunia yang terdiferensiasi dalam bentuk negara-negara bangsa dan berbagai macam ideologi telah melahirkan konflik dan perang. Sementara sekularisasi telah menghasilkan moralitas baru yang semata-mata berdasarkan rasio atau yang dalam dunia kapitalisme didasarkan pada pertimbangan analisis pasar.

[4] A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta, 2002, hlm. 227.

[5] Lihat dalam http://www.menpan.go.id/main_news.asp?id=104, diakses pada tanggal 10 Desember 2007 pukul 13.00 WIB.

[6] A. Sonny Keraf juga mengungkapkan hal yang sama: bahwa ekonomi global sangat berperan terhadap munculnya krisis lingkungan. Lihat selengkapnya, A. Sonny Keraf, op. cit, terutama pada Bab 10 tentang Ekonomi Global dan Krisis Ekologi, hlm. 216-248.

[7] Lihat selengkapnya dalam Zainuddin Maliki, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik, LPAM (Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat), Surabaya, 2003, hlm. v-viii

[8] Kutipan ini merupakan rangkuman panjang dari buku Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik karya Zainuddin Maliki. Ibid, hlm. 39-213.

[9] Lihat Debra J. Davidson dan Scott Frickel, Understanding Environmental Governance, dalam Organization and Environment, Vol. 17. No. 4, Desember 2004.

[10] Ibid, hlm. 219-223.

[11] Lihat kembali Debra J. Davidson dan Scott Frickel, op, cit.

[12] Ibid, hlm. 237-252.

[13] Untuk penjelasan selengkapnya mengenai governance, lihat Jon Pierre (ed), Debating Governance: Authority, Steering, and Democracy, Oxford University Press, New York, 2000.

posted by RUSMADI the rose @ 11.57.00  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me

Name: RUSMADI the rose
Home: Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia
About Me: ... adalah Staf Ahli Bidang Riset dan Mediasi pada ILHAM Institute Semarang. aktif di LAKPESDAM NU Jawa Tengah. pendidikannya sering meloncat-loncat, pernah di pesantren, pernah sekolah di IAIN Walisongo Semarang, dan saat ini sedang melanjutkan sekolahnya pada Program Pascasarjana Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata Semarang. kadang-kadang masih suka membaca, dan berorganisasi. cita-citanya sih kayaknya tinggi banget, tapi gak tahu apa yang dicita-citakan, soalnya cita-cita kata bocah katrok satu ini tidak boleh diomongain tapi dijalanin, soalnya kalau hanya keinginan so pasti banyak yang bisa, tapi kalau udah "perjuangan" susah cari orang yang mau, he he he... moto hidupnya aja keren abis, "keras dalam prinsip lunak dalam bertindak" ...
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Powered by

BLOGGER

© 2005 kampoeng djoglo Blogspot Template by Isnaini Dot Com