kampoeng djoglo

bukan kampung biasa

 
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Agama Sipil "Agama Khas" Indonesia?
Rabu, Februari 13, 2008

Oleh: Rusmadi

Sejarah pemikiran manusia hampir-hampir selalu diwarnai dengan “perseteruan” antara dua kubu yang berbeda secara diametral. Dari perseteruan antara empirisme dengan idealisme, kemudian skolastisisme dengan rasionalisme, modernisme dengan post-modernisme, strukturalisme dengan konstruksionisme-fenomenologis, hingga pemikiran kiri dengan pemikiran kanan. Dalam pemikiran keagamaan juga tidak sepi dari perseteruan yang begitu akrobatik. Kita menyaksikan bagaimana skripturalisme selalu berhadapan dengan kontekstualisme, liberalisme dengan fundamentalisme, konservatifisme dengan progresifisme, konsepsi Negara Agama dengan Sekulerisme, dan arus pemikiran ortodoksi yang mapan (establish) dengan pemikiran “pendatang baru” yang dianggap sempalan (heresy). Memposisikan semua varian-varian pemikiran tersebut dengan memasukkannya ke dalam panggung perseteruan sebagaimana di atas tentu tidak selamanya bisa dibenarkan. Setidaknya akan di-cap terlampau gegabah menganggap semuanya selalu berseteru. Pada kenyataannya, kita memang cukup sulit mewakili atau mengambil hanya satu identitas pemikiran tertentu saja. Terkadang terdapat seseorang yang di dalam dirinya bercampur berbagai identitas pemikiran. Misalnya, dalam beberapa hal ia adalah seorang fundamentalis, tetapi pada beberapa hal yang lain ia begitu liberal, dalam beberapa hal ia adalah seorang pengagum post-modernisme, tetapi pada beberapa hal yang lain ia adalah pendukung setia modernisme, dalam beberapa hal ia begitu tegas berada di arus progresifisme, tetapi pada beberapa hal yang lain ia begitu condong ke konservatifisme, juga dalam beberapa saat-saat tertentu ia menampilkan sosok yang Jabariyah, tetapi pada saat-saat tertentu ia merupakan pengikut Qadariyah sejati. Ya, begitu susah memang jika kita diharuskan hanya mewakili satu identitas tertentu, sementara di dalam diri kita terdapat banyak identitas.
Kendati demikian, kita juga tidak bisa melupakan begitu saja bahwa sejarah pemikiran manusia tidak selamanya menunjukkan panorama yang lurus, teratur dan selalu mengikuti kaidah-kaidah kepatutan tradisional atau taat asas pada mainstream tertentu. Terjadinya sengketa tajam antara kalangan agamawan dengan pemikir besar sekaliber Copernicus, Feurbach, Marx, dan juga Nietszche memberikan lanskap pemikiran yang berisi gugatan terhadap pemikiran agamawan yang kokoh. Tidak usah begitu jauh, munculnya paradigma baru pemikiran Islam Indonesia yang dinahkodai oleh garda depan liberalisme Islam juga menunjukkan hal serupa. Sejak kosmopolitanisme agama yang diusung oleh Gus Dur, modernisasi pemikiran ala Nurcholis Madjid, hingga liberalisme Islam yang ditegakkan oleh kelompok pemuda Utan Kayu. Apa yang digagas oleh setidaknya ketiga kaukus tadi merupakan salah satu dari sekian banyak “pertunjukan” ketidaktaatan asas pada mainstream tertentu, atau setidaknya melakukan gugatan terhadap pemikiran yang mapan yang didominasi oleh konservatisme. Bukankah cukup beralasan jika saya menganggap sejarah pemikiran manusia selalu diwarnai dengan “adegan perseteruan”?

Buku yang berjudul Agama Baru: Heresi dan Ortodoksi; Refigurasi Agama dan Problem Hak-Hak Minoritas di Indonesia ini juga berdiri pada posisi yang hampir sama. Penulisnya, M. Mukhsin Jamil, mencoba melakukan gugatan terhadap paradigma pemikiran keagamaan (Islam) ortodoksi yang begitu mapan dan menjadi mainstream kebanyakan masyarakat agama di Indonesia, yang karena begitu kuatnya, sampai-sampai melibatkan negara. Gugatan pemikiran yang dilakukan penulis buku ini berangkat dari konflik agama yang bermula dari fenomena munculnya agama-agama baru atau aliran-aliran keagamaan yang begitu merebak pada beberapa dekade terakhir, seperti kelompok Salamullah pimpinan Lia Eden dan kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mushaddeq, serta Jama’ah Ahmadiyah. Konflik itu dipicu dari munculnya fatwa sesat dan menganggap sempalan (heresy) terhadap agama-agama baru atau aliran keagamaan baru oleh beberapa golongan ortodoksi. Akibatnya, perseteruan itu benar-benar terjadi. Tetapi sayangnya berlangsung secara tidak seimbang, karena pemegang arus utama (ortodoksi) membawa negara menjadi tamengnya, sementara agama-agama baru yang dianggap sesat dan sempalan (heresy) hanya berpegang teguh pada keyakinan ajaran agama barunya. Posisi negara yang (seolah-olah) berada di belakang arus ortodoksi, menjadikan diskriminasi dan kekerasan agama yang dilakukan oleh beberapa kelompok ortodoksi dianggap wajar-wajar saja, dan negara hanya diam seribu bahasa dengan membiarkan begitu saja praktek diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi warganya.

Menjadi relevan apa yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rahmat (2005), bahwa Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat: ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari –di rumah, kantor, media, pasar dan di mana saja. Begitu misterius: ia sering menampakkan wajah-wajah yang tampak berlawanan –memotivasi kekerasan tanpa belas kasihan, pengabdian tanpa batas, mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan tahayul dan superstisi, menciptakan gerakan masa paling kolosal, atau menyingkap misteri ruhani paling personal, memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.

Jika kita mengikuti apa yang dikemukakan oleh Kang Jalal di atas, maka agama benar-benar sedang menampakkan wajahnya yang begitu misterius itu. Orang berbondong-bondong dan “bersimbah” di hadapan pemimpin agama baru atau di hadapan pemimpin agama dengan gaya baru, karena mampu menyingkap misteri paling personal tentang hidup dan kehidupan manusia, dengan menumbuhkan kesadaran baru dan spiritualitas yang tinggi yang terkadang melampaui rasionalitas kebanyakan. Sementara di sisi lain, terdapat juga dimana atas nama agama seseorang begitu termotivasi untuk melakukan tindakan kekerasan dan melanggar hak-hak seseorang untuk mengekspresikan keyakinan keagamaannya dan pengalaman spiritualnya. Pluralitas keagamaan tidak lagi menjadi nilai yang benar-benar layak untuk dihidupkan, karena dianggap bertentangan dengan “kebenaran yang hakiki”. Tetapi sayangnya kebenaran yang hakiki ini hanya boleh dimiliki oleh kelompok agama-agama atau aliran keagamaan yang sudah mapan dan menjadi mainstream. Sementara yang lain (agama-agama baru dan aliran keagamaan baru) tidak lebih dari gerakan sempalan yang sesat yang tidak berhak memiliki “kebenaran hakiki”, juga tidak berhak untuk tampil sejajar dengan agama-agama atau aliran keagamaan ortodoksi yang telah mapan (establish) dan menjadi arus utama pemikiran Islam Indonesia. Padahal, bagi penulis buku ini, sempalan dan ortodoksi hanyalah sesuatu yang bersifat kontekstual sesuai dengan ruang dan waktu. Dalam ruang dan waktu itulah ortodoksi ditentukan oleh relasi kuasa pengetahuan. Artinya, dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat dan dianggap agama sempalan (agama pinggiran). Oleh karenanya, gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan terhadap faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau politik.

Dinamika, serta kontekstualitas ortodoksi dan sempalan ini, dalam sejarahnya bisa kita lihat dalam dinamika faham Aqidah Asy’ariyah yang sekarang merupakan ortodoksi. Pada masa ‘Abbasiyah, Aqidah Asy’ariyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu’tazili (yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan. Jadi, faham yang sekarang dipandang sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis “gerakan sempalan”. Bukankah kembalinya faham Asy'ariyah menjadi ortodoksi juga tidak lepas dari faktor politik?. Contoh yang lain misalnya, dalam kasus pergulatan Tradisionalisme dan Modernisme Islam di Indonesia pada awal abad ke-20, ketika terjadi ketegangan antara kalangan Islam Modernis dan kalangan Islam Tradisionalis. Bukankah dulu kalangan modernis dianggap sempalan oleh kalangan tradisionalis yang menganggap dirinya mewakili Ahlus Sunnah wal Jama'ah? Dan bukankah sekarang sama-sama menjadi ortodoksi dan mainstream pemikiran keagamaan di Indonesia? Setidaknya dua contoh di atas menunjukan betapa persoalan “sempalan” dan “ortodoksi” merupakan persoalan yang sangat kontekstual.

Lalu, bagaimana dengan fenomena munculnya agama-agama baru yang dianggap gerakan sempalan dan sesat, seperti kelompok Salamullah, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dan Ahmadiyah? Ya, tak ubahnya seperti beberapa contoh yang baru saja dikemukakan. Pen-cap-an sesat oleh kelompok ortodoksi melalui fatwa MUI pada dasarnya merupakan praktek relasi kuasa pengetahuan yang sedang dimenangkan oleh kelompok ortodoksi. Relasi kuasa pengetahuan ini bahkan melibatkan Kepolisian sebagai alat negara. Dengan demikian diskusi kita menjadi mau tidak mau, suka atau tidak suka membuka kembali diskursus lama (tetapi tetap saja hangat) mengenai hubungan Agama dan Negara. Politik keagamaan yang diskriminatif yang dipraktekkan pada masa kolonial Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang nampaknya merupakan salah satu akar dan peletak batu pertama bangunan hubungan Agama dan Negara di Indonesia yang sampai sekarang masih bisa disaksikan.

Pada akhirnya, reformasi politik keagamaan memang harus mulai didiskusikan oleh masyarakat agama di Indonesia secara umum. Menghargai kenyataan keragaman keberagamaan masyarakat harus ditempatkan pada posisi yang paling penting. Pada konteks ini, gagasan Agama Sipil (Civil Religion) merupakan tawaran yang pantas untuk diberikan apresiasi. Pilihan agama sipil merupakan upaya refigurasi agama di tengah regulasi keagamaan dan transformasi global secara sekaligus. Dibandingkan dengan cara penaklukan negara di bawah payung agama atau isolasi separatis, agama sipil nampaknya merupakan pilihan yang benar-benar memperhatikan ke-khas-an Indonesia, karena lebih menerima keberagaman keberagamaan dan keberagaman suara publik sembari mengakui secara sadar bahwa ini merupakan salah satu jalan alternatif bagi masyarakat agama untuk hidup di abad modern. Pilihan refigurasi ke dalam agama sipil dimainkan dengan mengedepankan agama publik tetapi juga tetap menjaga jarak dari mesin negara yang represif. Dengan kata lain, agama dibawa ke arena publik, tetapi dengan tetap menjaga independensinya agar pesan-pesannya menjadi begitu jelas. Dengan demikian, agama harus siap untuk menjadi faktor penyeimbang dan kritik terhadap negara dan pasar, bukan memberikan kepada keduanya kekuasaan sosial yang lebih besar. Juga bukan malah menentang realitas pluralisme sebagai kenyataan.

Agama Sipil hanya akan tumbuh ketika masyarakat memiliki perangkat yang memadai dan memiliki paradigma berpikir yang optimistis, tidak berpikir dalam kerangka oposisi biner (hitam-putih), serta menghargai hak asasi manusia yang notabene-nya plural. Dari sanalah akan tumbuh sesuatu yang disebut sebagai negara demokratis, sebuah negara yang diperintah tidak berdasarkan pemaksaan-pemaksaan dan otoritarianisme. Jika gagasan agama sipil ini dipraktekkan oleh masyarakat luas, maka sejatinya mereka akan menemukan makna di balik keberislamannya (misalnya), sehingga berislam bukan hanya berbasiskan pada perspektif teologis an sich yang menekankan pada simbol dan ketundukan yang tidak kritis. Benarkah pilihan refigurasi agama menuju agama sipil merupakan pilihan yang logis di tengah kenyataan pluralisme dan transformasi global sekaligus?, dan benarkah agama sipil adalah agama khas Indonesia?. Selamat membaca.

Semarang, Januari 2008, Tulisan ini merupakan KATA PENGANTAR EDITOR UNTUK BUKU “AGAMA-AGAMA BARU: HERESY DAN ORTODOKSI” Karya M. Mukhsin Jamil. Diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta.

posted by RUSMADI the rose @ 12.53.00  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me

Name: RUSMADI the rose
Home: Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia
About Me: ... adalah Staf Ahli Bidang Riset dan Mediasi pada ILHAM Institute Semarang. aktif di LAKPESDAM NU Jawa Tengah. pendidikannya sering meloncat-loncat, pernah di pesantren, pernah sekolah di IAIN Walisongo Semarang, dan saat ini sedang melanjutkan sekolahnya pada Program Pascasarjana Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata Semarang. kadang-kadang masih suka membaca, dan berorganisasi. cita-citanya sih kayaknya tinggi banget, tapi gak tahu apa yang dicita-citakan, soalnya cita-cita kata bocah katrok satu ini tidak boleh diomongain tapi dijalanin, soalnya kalau hanya keinginan so pasti banyak yang bisa, tapi kalau udah "perjuangan" susah cari orang yang mau, he he he... moto hidupnya aja keren abis, "keras dalam prinsip lunak dalam bertindak" ...
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Powered by

BLOGGER

© 2005 kampoeng djoglo Blogspot Template by Isnaini Dot Com