kampoeng djoglo

bukan kampung biasa

 
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Cita-Cita Membangun Ecocity Yang Paradok: Pencemaran Udara versus "Gaya Hidup Yang Nyaman"
Minggu, Februari 24, 2008
Oleh: Rusmadi

I. PENDAHULUAN
Sejak krisis lingkungan dikampanyekan sebagai sebuah bencana global oleh berbagai organisasi internasional melalui berbagai pertemuan-pertemuan bumi. Pertemuan-pertemuan itu berusaha untuk membangkitkan keprihatinan mondial dan menjadikannya sebagai agenda politik global untuk lebih ramah terhadap lingkungan. Persoalan di perkotaan yang termasuk penyumbang terbesar bagi perubahan iklim dan pemanasan global, juga tidak luput dari sorotan. Pencemaran udara, adalah salah satu dari sekian banyak persoalan lingkungan dan perkotaan yang masuk dalam “daftar hitam” persoalan lingkungan global. Tak pelak, berbagai rekomendasi tentang konsep pembangunan perkotaan yang berkelanjutan dan ramah terhadap lingkungan (ecocity) benar-benar menjadi tema yang begitu penting untuk dikemukakan. Kendati demikian, cita-cita pembangunan ecocity nampaknya menjadi sangat paradok, mengingat –sehubungan dengan tema di atas, yakni pencemaran udara- kebutuhan akan gaya hidup yang nyaman masih menjadi idaman setiap orang. Oleh karenanya, pada kesempatan ini penulis hendak membahas mengenai cita-cita ecocity di tengah tuntutan “gaya hidup yang nyaman”.

II. PEMBAHASAN
Penulis sebenarnya sangat awam mengenai persoalan perkotaan, akan tetapi ketika penulis pernah disuguhi sejumlah artikel tentang desain Kota Curitiba di Brasil yang konon merupakan master plan kota masa depan yang ramah lingkungan (Ecocity), penulis menjadi sedikit “terpaksa” mengakrabi diskusi mengenai desain kota yang ramah lingkungan. Kota Curitiba memang disebut-sebut sebagai sebuah kota masa depan, karena ia berhasil mengembangkan kota secara padu dan berkesinambungan yang meliputi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam mencanangkan programnya, pengembangan Kota Curitiba selalu memegang prinsip keramahan lingkungan. Curitiba termasuk kategori kota yang sangat kreatif (creative city), karena dengan modal yang sangat minim ia mampu menghasilkan penataan kota yang optimal. Karena keberhasilannya, oleh ICLEI (International Council for Local Environmental Initiatives), Curitiba juga disebut-sebut sebagai proyek percontohan bagi pengembangan kota yang padu dan berkesinambungan. Program yang paling menonjol misalnya adalah transportasi publik dan tata kota yang berwawasan lingkungan.
Di bidang transportasi publik misalnya, Curitiba menggunakan sistem transportasi masal yang sangat efektif karena mampu mengurangi kemacetan, murah (low technology) dan ramah lingkungan. Selain itu, sistem transportasi ini juga didesain untuk pengembangan kota, yakni dengan jalur yang mengilingi seluruh kota. Secara tidak langsung dengan sarana transportasi yang mencakup seluruh kota maka kegiatan ekonomi juga akan terpacu secara signifikan.
Sementara di bidang penataan kota, Curitiba senantiasa memperhatikan keramahan lingkungan. Pembangunan kota yang disertai pembuatan taman-taman kota, daerah resapan air, dan pengelolaan sampah yang profesional dan melibatkan seluruh stake holders termasuk masyarakat, merupakan sistem penataan kota yang padu dan berwawasan lingkungan. Taman-taman kota sebagai kawasan hijau kota mampu menyediakan oksigen yang dibutuhkan oleh masyarakat dan sekaligus mampu berfungsi sebagai daerah resapan air. Pembangunan sungai-sungai dengan memperhatikan sifat kealamiahan sifat air dan tidak membuat bangunan di dekat sungai sangat membantu menciptakan kota yang aman dari banjir, juga sekaligus memperluas daerah serapan air. Sementara pengelolaan sampah yang melibatkan partisipasi masyarakat dengan memberikan insentif kepada masyarakat berupa tikcet angkutan umum dan buku-buku yang bermanfaat, sangat membantu menciptakan kesadaran lingkungan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah dengan mengumpulkan sampah dan memisahkannya sesuai dengan janisnya, misalnya organik dengan organik, dan non-organik dengan non-organik sangat meminimalisir resiko sampah.
Marilah kita tinggalkan sejenak romantisme kita dengan Kota Curitiba, dan mencoba melihat secara proporsional berbagai problem lingkungan dan perkotaan yang secara umum dialami oleh kota-kota besar di Indonesia. Setidaknya terdapat beberapa persoalan lingkungan dan perkotaan yang begitu komplek, yakni Pertama; persoalan urbanisasi yang terus meningkat seiring bertambahnya penduduk dan minimnya akses ekonomi di pedesaan. Kedua; dengan meningkatnya jumlah populasi dan urbanisasi, maka kebutuhan lahan untuk pemukiman menjadi meningkat dan pada akhirnya mengurangi kawasan-kawasan hijau sebagai jantung kota dan daerah resapan air. Ketiga; persoalan pengelolaan sampah dan limbah industri. Dan Keempat; persoalan transportasi, industri dan pencemaran udara.
Dari sedikitnya empat persoalan lingkungan dan perkotaan yang paling dominan tersebut di atas, pada kesempatan ini penulis hendak mencoba mengoptik satu persoalan penting di perkotaan menyangkut lingkungan, yakni pencemaran udara. Tidak hanya karena hampir semua persoalan lingkungan di perkotaan akan bermuara pada pencemaran udara (terutama akibat berkurangnya kawasan hijau untuk kebutuhan pemukiman dan kebutuhan konsumsi kendaraan yang terus meningkat), tetapi juga karena pencemaran udara dari tahun ke tahun terus meningkat.
Kita semua tentu saja telah mafhum bahwa udara merupakan barang publik (consumer goods), sehingga bersifat open access, siapa pun dapat mempergunakannya dan memilikinya tanpa harus membeli. Tetapi persoalannya menjadi rumit ketika terjadi pencemaran udara seiring dengan pertumbuhan industri dan transportasi serta berkurangnya kawasan hijau perkotaan, pada akhirnya ongkos pencemaran udara perkotaan ini harus dibayar mahal secara kolektif (pollution for all), baik oleh mereka yang mencemari maupun yang tidak sama sekali.
Dengan demikian, peningkatan kualitas hidup melalui pemacuan industri dan transportasi justru menjadi paradoks seiring dengan memburuknya kualitas hidup dan lingkungan yang justru diakibatkan oleh industri dan transportasi. Contoh paling riil adalah pembangunan jalan raya dan jalan tol dengan industri mobil. Pada awalnya setiap individu yang memanfaatkan sarana tersebut akan mendapatkan “net gains” dengan kelancaran dan kenyamanan lalu lintas. Akan tetapi ketika semua orang berpikir sama tentang kenyamanan dan kelancaran ini, bukan lagi kenikmatan lalu lintas yang didapat, justru kemacetan (traffic congestion) dan yang lebih parah adalah pencemaran udara, karena pencemaran udara tidak hanya berakibat pada si pengendara mobil, tetapi juga dirasakan oleh seluruh masyarakat, baik yang menikmati kenyamanan berkendara ataupun mereka yang sama sekali tidak pernah mencicipi manisnya berkendara. Dengan kata lain, selain sistem transportasi menjadi collapse, pertumbuhan kendaraan juga telah menjadi tragedi bersama pencemaran udara yang menyerang siapa saja. Demikian juga dengan dunia industri yang tumbuh untuk memenuhi permintaan konsumen. Konsumen akan mendapatkan “net gain” berupa terpenuhinya kebutuhan hidup. Namun pencemaran udara yang ditimbulkan oleh industri tersebut mengurangi kualitas hidup masyarakat secara kolektif, baik mereka yang secara langsung mendapatkan keuntungan dari pelayanan industri maupun mereka yang sama sekali tidak mendapatkan apa pun. Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kedua hal di atas (transportasi dan industri) adalah: Individual Gain, Collective Pain. Inilah problem perkotaan yang menunjukkan “paradoknya gaya hidup yang nyaman”, karena kenyamanan gaya hidup yang sangat individual justru berakibat pada persoalan lingkungan yang ditanggung secara bersama-sama.
Problem pencemaran udara akibat kendaraan, semain kompleks ketika dihadapkan pada dua persoalan yang lain, yakni Pertama; persoalan urbanisasi yang terus meningkat seiring bertambahnya penduduk dan minimnya akses ekonomi di pedesaan. Bahkan Direktur UNESCO untuk Indonesia, Han Qui, menyatakan bahwa pada 2010 sebanyak 51 persen penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Ini akan memicu permasalahan sosial yang kompleks, salah satunya kemacetan dan dengan demikian juga sekaligus pencemaran udara. Namun kemacetan terhitung persoalan ringan ketimbang gangguan keseimbangan ekologis akibat membludaknya penduduk. Kedua; dengan meningkatnya jumlah populasi dan urbanisasi maka kebutuhan lahan untuk pemukiman dan komersial menjadi meningkat dan pada akhirnya mengurangi kawasan-kawasan hijau sebagai jantung kota yang menetralisir polusi udara. Sebagai contoh di Kota Semarang adalah kawasan hijau di BSB telah berubah menjadi kawasan pemukiman dan komersial oleh pengembang. Tidak dipungkiri lagi bahwa hampir semua konsep tata ruang di Indonesia didesain di atas kepentingan ekonomi yang sangat tinggi, oleh karenanya lebih berorientasi pada pembangunan fisik untuk kepentingan ekonomi. Akibatnya, kebutuhan ruang untuk berlangsungnya fungsi ekologis kurang terakomodasi. Padahal keberlanjutan suatu wilayah harus didukung oleh keberlanjutan fungsi ekonomi, sosial, dan ekologis secara seimbang.
Secara umum terjadinya polusi udara di perkotaan diakibatkan oleh emisi berlebih yang setidaknya berasal dari tiga sumber utama, yaitu alamiah, antropogenik dan berasal dari daerah lain yang masuk ke wilayah perkotaan karena proses meteorologis. Pada simpul sumber emisi perlu dilakukan penyusunan inventori sumber pencemar, mencakup jenis dan laju emisinya. Hal ini penting sebagai langkah awal untuk mengendalikan pencemaran udara pada simpul sumber (source term). Dari berbagai sumber tersebut, yang paling bisa dikendalikan adalah sumber antropogenik, melalui berbagai instrumen pengendalian. Sebagai gambaran, sektor transportasi merupakan penyumbang pencemar NOx terbesar (69 persen) di perkotaan, diikuti industri dan rumah tangga. Sedangkan penyumbang pencemar SOx terbesar adalah sektor industri (76 persen) yang diikuti transportasi (15 persen). Pada tahun 2005 saja, emisi total di kota-kota besar di Indonesia untuk SOx, NOx, PM, CO dan HC secara berturut-turut tidak kurang dari rata-rata 55.958, 143.518, 23.786, 564.292, dan 97.971 ton per tahun.
Indonesia belum berhasil mendemosntrasikan program langit biru yang di canangkan sejak tahun 1992, meskipun berbagai upaya telah dilakukan. Bagaimanapun, jika kita belajar dari Kota Curitiba, maka political will dari pemerintah dan masyarakat setempat untuk terlibat di dalam membangun sebuah kota yang berkelanjutan merupakan faktor utama. Sementara untuk mengatasi problem pencemaran udara, action plan harus dilakukan dengan memperbaiki sistem struktur yang ada. Identifikasi permasalahan pencemaran udara perkotaan merupakan langkah awal penyelesaian. Selanjutnya, memperbaiki struktur yang ada, penyediaan sarana dan prasarana yang bersifat lebih populis dan ramah lingkungan, sistem insentif dan pajak yang tepat, dan membuat grand design penataan kota yang tepat.
Program langit biru hanya dapat tercapai, jika emisi pencemar udara dapat dikendalikan. Kebijakan di bidang industri untuk menekan sumber emisi dapat diperkenalkan melalui pendekatan command and control. Sementara reduksi sumber emisi dapat ditempuh melalui berbagai strategi. Tentu saja riset di bidang teknologi pengelolaan limbah gas perlu lebih diintensifkan melalui kerjasama antara user (industri) dan lembaga riset, termasuk Perguruan Tinggi. Pendekatan hukum harus disinergikan dengan teknologi sebagai alat pembuktian, misalnya dengan pemasangan sistem monitoring yang dapat diamati setiap saat oleh otoritas pengendali lingkungan. Pinalti harus diberikan secara tegas bagi pelanggar ketentuan emisi gas buang. Pengelompokkan industri yang sejenis perlu diatur kembali, sehingga unit pengolahan limbah (khususnya gas) dapat dilakukan secara terpadu untuk memudahkan pengendalian pencemaran dan menekan biaya pengelolaannya (efisiensi). Substitusi bahan baku dan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan perlu mendapatkan apresiasi. Sistem pajak yang proporsional terhadap nilai eksternalitas yang ditimbulkan oleh pencemaran udara juga perlu mendapatkan apresiasi. Sementara kebijakan pengurangan emisi gas buang sektor transportasi secara umum juga perlu lebih tegas dan strategis, misalnya dengan pemberlakuan sistem transportasi massal dan pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi, dan juga pembatasan penggunaan BBM untuk mobil pribadi, serta uji emisi yang dilakukan secara kontinu.
Kebijakan pengendalian pencemaran udara sudah saatnya dilakukan secara terintegrasi dengan melihat struktur problem secara cermat, menjaga konsistensi kebijakan serta pelibatan masyarakat secara aktif. Dengan demikian segala aktivitas perkotaan tidak akan menimbulkan apa yang penulis sebut sebagai “paradoknya gaya hidup yang nyaman”, tetapi sebaliknya akan menimbulkan net gains collective baik secara individual maupun masyarakat secara umum. Bahkan untuk masa depan generasi mendatang, karena kualitas lingkungan yang baik akan menjaga dan menyelamatkan keberlangsungan hidup generasi mendatang.

III. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari beberapa hal yang telah diungkapkan mengenai persoalan lingkungan dan perkotaan, terutama terkait dengan pencemaran udara dan tuntutan “gaya hidup yang nyaman” tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: bahwa terdapat empat persoalan lingkungan di perkotaan yang paling dominan, yakni urbanisasi, kebutuhan lahan untuk pemukiman, industri, dan transportasi. Keempat persoalan ini pada akhirnya akan berdampak pada satu persoalan penting, yakni pencemaran udara. Mengapa? Karena urbanisasi pada akhirnya meningkatkan jumpah populasi di perkotaan. Populasi yang meningkat tentu menjadikan kebutuhan akan lahan juga meningkat, baik untuk pemukiman maupun komersial. Hal ini menjadikan kawasan hijau yang berfungsi sebagai penetralisir pencemaran udara menjadi berkurang. Sementara di sisi yang lain, karena bertambahnya populasi, maka kebutuhan transportasi yang nyaman seperti kendaraan bermotor dan mobil juga meningkat. Dengan demikian pencemaran udara benar-benar sulit terhindarkan.
Berbagai kebijakan melalui pendekatan command and control nampaknya harus diberlakukan secara ketat. Pinalti harus diberikan secara tegas bagi pelanggar ketentuan emisi gas buang. Substitusi bahan baku dan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan perlu mendapatkan apresiasi. Sistem pajak yang proporsional terhadap nilai eksternalitas yang ditimbulkan oleh pencemaran udara juga perlu mendapatkan apresiasi. Selain itu, sistem transportasi massal dan pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi, dan juga pembatasan penggunaan BBM untuk mobil pribadi, serta uji emisi yang dilakukan secara kontinu merupakan beberapa hal yang bisa dilakukan. Akan tetapi, karena penulis percaya dengan pendekatan command and control, maka political will dari pemerintah benar-benar menjadi langkah awal.
Demikianlah paper ini dibuat, sebagaimana penulis ungkapkan di awal tulisan, penulis sebenarnya sangat awam mengenai persoalan perkotaan. Oleh karenanya, dengan kesadaran terdalam, berbagai saran-saran, rekomendasi, dan kritik konstruktif penulis harapkan agar memperkaya khazanah pengetahuan penulis di kemudian hari.







DAFTAR PUSTAKA


Fribreg, Lars, Innovative Solutions for Public Transport: Curitiba, Brazil, Uppsala University, Sweeden.
Rata Kiri Kanan
Jawa Pos, edisi 20 Februari 2008.

KOMPAS, edisi 17 Januari 2008.

_________, edisi 20 Februari 2008.

Rabinovitch, Jonas and Josef Leitman, Urban Planing in Curitiba; A Brazilian City Chalenges Conventional Wisdom and relies on Low Technology to Improve the Quality of Urban Life, dalam Jurnal Scientific American, edisi Maret 1996.

Tim Laporan ECLEI, Manucipality of Curitiba, Brazil, Studi Kasus 77 ECLEI.

www.walhi.com, diakses pada tanggal 28 Januari 2007, pukul 14.00 WIB.
posted by RUSMADI the rose @ 15.33.00  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
About Me

Name: RUSMADI the rose
Home: Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia
About Me: ... adalah Staf Ahli Bidang Riset dan Mediasi pada ILHAM Institute Semarang. aktif di LAKPESDAM NU Jawa Tengah. pendidikannya sering meloncat-loncat, pernah di pesantren, pernah sekolah di IAIN Walisongo Semarang, dan saat ini sedang melanjutkan sekolahnya pada Program Pascasarjana Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata Semarang. kadang-kadang masih suka membaca, dan berorganisasi. cita-citanya sih kayaknya tinggi banget, tapi gak tahu apa yang dicita-citakan, soalnya cita-cita kata bocah katrok satu ini tidak boleh diomongain tapi dijalanin, soalnya kalau hanya keinginan so pasti banyak yang bisa, tapi kalau udah "perjuangan" susah cari orang yang mau, he he he... moto hidupnya aja keren abis, "keras dalam prinsip lunak dalam bertindak" ...
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Powered by

BLOGGER

© 2005 kampoeng djoglo Blogspot Template by Isnaini Dot Com