kampoeng djoglo

bukan kampung biasa

 
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Other things
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.
Agama Sipil "Agama Khas" Indonesia?
Rabu, Februari 13, 2008

Oleh: Rusmadi

Sejarah pemikiran manusia hampir-hampir selalu diwarnai dengan “perseteruan” antara dua kubu yang berbeda secara diametral. Dari perseteruan antara empirisme dengan idealisme, kemudian skolastisisme dengan rasionalisme, modernisme dengan post-modernisme, strukturalisme dengan konstruksionisme-fenomenologis, hingga pemikiran kiri dengan pemikiran kanan. Dalam pemikiran keagamaan juga tidak sepi dari perseteruan yang begitu akrobatik. Kita menyaksikan bagaimana skripturalisme selalu berhadapan dengan kontekstualisme, liberalisme dengan fundamentalisme, konservatifisme dengan progresifisme, konsepsi Negara Agama dengan Sekulerisme, dan arus pemikiran ortodoksi yang mapan (establish) dengan pemikiran “pendatang baru” yang dianggap sempalan (heresy). Memposisikan semua varian-varian pemikiran tersebut dengan memasukkannya ke dalam panggung perseteruan sebagaimana di atas tentu tidak selamanya bisa dibenarkan. Setidaknya akan di-cap terlampau gegabah menganggap semuanya selalu berseteru. Pada kenyataannya, kita memang cukup sulit mewakili atau mengambil hanya satu identitas pemikiran tertentu saja. Terkadang terdapat seseorang yang di dalam dirinya bercampur berbagai identitas pemikiran. Misalnya, dalam beberapa hal ia adalah seorang fundamentalis, tetapi pada beberapa hal yang lain ia begitu liberal, dalam beberapa hal ia adalah seorang pengagum post-modernisme, tetapi pada beberapa hal yang lain ia adalah pendukung setia modernisme, dalam beberapa hal ia begitu tegas berada di arus progresifisme, tetapi pada beberapa hal yang lain ia begitu condong ke konservatifisme, juga dalam beberapa saat-saat tertentu ia menampilkan sosok yang Jabariyah, tetapi pada saat-saat tertentu ia merupakan pengikut Qadariyah sejati. Ya, begitu susah memang jika kita diharuskan hanya mewakili satu identitas tertentu, sementara di dalam diri kita terdapat banyak identitas.
Kendati demikian, kita juga tidak bisa melupakan begitu saja bahwa sejarah pemikiran manusia tidak selamanya menunjukkan panorama yang lurus, teratur dan selalu mengikuti kaidah-kaidah kepatutan tradisional atau taat asas pada mainstream tertentu. Terjadinya sengketa tajam antara kalangan agamawan dengan pemikir besar sekaliber Copernicus, Feurbach, Marx, dan juga Nietszche memberikan lanskap pemikiran yang berisi gugatan terhadap pemikiran agamawan yang kokoh. Tidak usah begitu jauh, munculnya paradigma baru pemikiran Islam Indonesia yang dinahkodai oleh garda depan liberalisme Islam juga menunjukkan hal serupa. Sejak kosmopolitanisme agama yang diusung oleh Gus Dur, modernisasi pemikiran ala Nurcholis Madjid, hingga liberalisme Islam yang ditegakkan oleh kelompok pemuda Utan Kayu. Apa yang digagas oleh setidaknya ketiga kaukus tadi merupakan salah satu dari sekian banyak “pertunjukan” ketidaktaatan asas pada mainstream tertentu, atau setidaknya melakukan gugatan terhadap pemikiran yang mapan yang didominasi oleh konservatisme. Bukankah cukup beralasan jika saya menganggap sejarah pemikiran manusia selalu diwarnai dengan “adegan perseteruan”?

Buku yang berjudul Agama Baru: Heresi dan Ortodoksi; Refigurasi Agama dan Problem Hak-Hak Minoritas di Indonesia ini juga berdiri pada posisi yang hampir sama. Penulisnya, M. Mukhsin Jamil, mencoba melakukan gugatan terhadap paradigma pemikiran keagamaan (Islam) ortodoksi yang begitu mapan dan menjadi mainstream kebanyakan masyarakat agama di Indonesia, yang karena begitu kuatnya, sampai-sampai melibatkan negara. Gugatan pemikiran yang dilakukan penulis buku ini berangkat dari konflik agama yang bermula dari fenomena munculnya agama-agama baru atau aliran-aliran keagamaan yang begitu merebak pada beberapa dekade terakhir, seperti kelompok Salamullah pimpinan Lia Eden dan kelompok Al-Qiyadah Al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mushaddeq, serta Jama’ah Ahmadiyah. Konflik itu dipicu dari munculnya fatwa sesat dan menganggap sempalan (heresy) terhadap agama-agama baru atau aliran keagamaan baru oleh beberapa golongan ortodoksi. Akibatnya, perseteruan itu benar-benar terjadi. Tetapi sayangnya berlangsung secara tidak seimbang, karena pemegang arus utama (ortodoksi) membawa negara menjadi tamengnya, sementara agama-agama baru yang dianggap sesat dan sempalan (heresy) hanya berpegang teguh pada keyakinan ajaran agama barunya. Posisi negara yang (seolah-olah) berada di belakang arus ortodoksi, menjadikan diskriminasi dan kekerasan agama yang dilakukan oleh beberapa kelompok ortodoksi dianggap wajar-wajar saja, dan negara hanya diam seribu bahasa dengan membiarkan begitu saja praktek diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi warganya.

Menjadi relevan apa yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rahmat (2005), bahwa Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat: ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari –di rumah, kantor, media, pasar dan di mana saja. Begitu misterius: ia sering menampakkan wajah-wajah yang tampak berlawanan –memotivasi kekerasan tanpa belas kasihan, pengabdian tanpa batas, mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan tahayul dan superstisi, menciptakan gerakan masa paling kolosal, atau menyingkap misteri ruhani paling personal, memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.

Jika kita mengikuti apa yang dikemukakan oleh Kang Jalal di atas, maka agama benar-benar sedang menampakkan wajahnya yang begitu misterius itu. Orang berbondong-bondong dan “bersimbah” di hadapan pemimpin agama baru atau di hadapan pemimpin agama dengan gaya baru, karena mampu menyingkap misteri paling personal tentang hidup dan kehidupan manusia, dengan menumbuhkan kesadaran baru dan spiritualitas yang tinggi yang terkadang melampaui rasionalitas kebanyakan. Sementara di sisi lain, terdapat juga dimana atas nama agama seseorang begitu termotivasi untuk melakukan tindakan kekerasan dan melanggar hak-hak seseorang untuk mengekspresikan keyakinan keagamaannya dan pengalaman spiritualnya. Pluralitas keagamaan tidak lagi menjadi nilai yang benar-benar layak untuk dihidupkan, karena dianggap bertentangan dengan “kebenaran yang hakiki”. Tetapi sayangnya kebenaran yang hakiki ini hanya boleh dimiliki oleh kelompok agama-agama atau aliran keagamaan yang sudah mapan dan menjadi mainstream. Sementara yang lain (agama-agama baru dan aliran keagamaan baru) tidak lebih dari gerakan sempalan yang sesat yang tidak berhak memiliki “kebenaran hakiki”, juga tidak berhak untuk tampil sejajar dengan agama-agama atau aliran keagamaan ortodoksi yang telah mapan (establish) dan menjadi arus utama pemikiran Islam Indonesia. Padahal, bagi penulis buku ini, sempalan dan ortodoksi hanyalah sesuatu yang bersifat kontekstual sesuai dengan ruang dan waktu. Dalam ruang dan waktu itulah ortodoksi ditentukan oleh relasi kuasa pengetahuan. Artinya, dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat dan dianggap agama sempalan (agama pinggiran). Oleh karenanya, gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan terhadap faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau politik.

Dinamika, serta kontekstualitas ortodoksi dan sempalan ini, dalam sejarahnya bisa kita lihat dalam dinamika faham Aqidah Asy’ariyah yang sekarang merupakan ortodoksi. Pada masa ‘Abbasiyah, Aqidah Asy’ariyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu’tazili (yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan. Jadi, faham yang sekarang dipandang sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis “gerakan sempalan”. Bukankah kembalinya faham Asy'ariyah menjadi ortodoksi juga tidak lepas dari faktor politik?. Contoh yang lain misalnya, dalam kasus pergulatan Tradisionalisme dan Modernisme Islam di Indonesia pada awal abad ke-20, ketika terjadi ketegangan antara kalangan Islam Modernis dan kalangan Islam Tradisionalis. Bukankah dulu kalangan modernis dianggap sempalan oleh kalangan tradisionalis yang menganggap dirinya mewakili Ahlus Sunnah wal Jama'ah? Dan bukankah sekarang sama-sama menjadi ortodoksi dan mainstream pemikiran keagamaan di Indonesia? Setidaknya dua contoh di atas menunjukan betapa persoalan “sempalan” dan “ortodoksi” merupakan persoalan yang sangat kontekstual.

Lalu, bagaimana dengan fenomena munculnya agama-agama baru yang dianggap gerakan sempalan dan sesat, seperti kelompok Salamullah, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dan Ahmadiyah? Ya, tak ubahnya seperti beberapa contoh yang baru saja dikemukakan. Pen-cap-an sesat oleh kelompok ortodoksi melalui fatwa MUI pada dasarnya merupakan praktek relasi kuasa pengetahuan yang sedang dimenangkan oleh kelompok ortodoksi. Relasi kuasa pengetahuan ini bahkan melibatkan Kepolisian sebagai alat negara. Dengan demikian diskusi kita menjadi mau tidak mau, suka atau tidak suka membuka kembali diskursus lama (tetapi tetap saja hangat) mengenai hubungan Agama dan Negara. Politik keagamaan yang diskriminatif yang dipraktekkan pada masa kolonial Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang nampaknya merupakan salah satu akar dan peletak batu pertama bangunan hubungan Agama dan Negara di Indonesia yang sampai sekarang masih bisa disaksikan.

Pada akhirnya, reformasi politik keagamaan memang harus mulai didiskusikan oleh masyarakat agama di Indonesia secara umum. Menghargai kenyataan keragaman keberagamaan masyarakat harus ditempatkan pada posisi yang paling penting. Pada konteks ini, gagasan Agama Sipil (Civil Religion) merupakan tawaran yang pantas untuk diberikan apresiasi. Pilihan agama sipil merupakan upaya refigurasi agama di tengah regulasi keagamaan dan transformasi global secara sekaligus. Dibandingkan dengan cara penaklukan negara di bawah payung agama atau isolasi separatis, agama sipil nampaknya merupakan pilihan yang benar-benar memperhatikan ke-khas-an Indonesia, karena lebih menerima keberagaman keberagamaan dan keberagaman suara publik sembari mengakui secara sadar bahwa ini merupakan salah satu jalan alternatif bagi masyarakat agama untuk hidup di abad modern. Pilihan refigurasi ke dalam agama sipil dimainkan dengan mengedepankan agama publik tetapi juga tetap menjaga jarak dari mesin negara yang represif. Dengan kata lain, agama dibawa ke arena publik, tetapi dengan tetap menjaga independensinya agar pesan-pesannya menjadi begitu jelas. Dengan demikian, agama harus siap untuk menjadi faktor penyeimbang dan kritik terhadap negara dan pasar, bukan memberikan kepada keduanya kekuasaan sosial yang lebih besar. Juga bukan malah menentang realitas pluralisme sebagai kenyataan.

Agama Sipil hanya akan tumbuh ketika masyarakat memiliki perangkat yang memadai dan memiliki paradigma berpikir yang optimistis, tidak berpikir dalam kerangka oposisi biner (hitam-putih), serta menghargai hak asasi manusia yang notabene-nya plural. Dari sanalah akan tumbuh sesuatu yang disebut sebagai negara demokratis, sebuah negara yang diperintah tidak berdasarkan pemaksaan-pemaksaan dan otoritarianisme. Jika gagasan agama sipil ini dipraktekkan oleh masyarakat luas, maka sejatinya mereka akan menemukan makna di balik keberislamannya (misalnya), sehingga berislam bukan hanya berbasiskan pada perspektif teologis an sich yang menekankan pada simbol dan ketundukan yang tidak kritis. Benarkah pilihan refigurasi agama menuju agama sipil merupakan pilihan yang logis di tengah kenyataan pluralisme dan transformasi global sekaligus?, dan benarkah agama sipil adalah agama khas Indonesia?. Selamat membaca.

Semarang, Januari 2008, Tulisan ini merupakan KATA PENGANTAR EDITOR UNTUK BUKU “AGAMA-AGAMA BARU: HERESY DAN ORTODOKSI” Karya M. Mukhsin Jamil. Diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta.

posted by RUSMADI the rose @ 12.53.00   0 comments
Krisis Lingkungan Dalam Bingkai Teori Strukturasi: Antara Governance dan Govermentality Lingkungan

Oleh: R u s m a d i

I. PENDAHULUAN
Apa yang saya bayangkan degan judul di atas sebenarnya sangat sederhana, yakni pertama; bagaimana sebuah problem diposisikan dan atau dioptik. Biasanya hasil dari kerja memposisikan ini berujung pada pengetahuan mengenai akar masalah [atau tepatnya penyebab] dari munculnya sebuah problem, dan untuk kemudian mencoba mengetahui bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang aktor –meminjam bahasa Antonio Gramsci- untuk merespon problem tersebut. Kedua; pada prinsipnya krisis lingkungan tak ubahnya adalah hampir sama dengan problem sosial di dalam teori sosial. Jadi posisi krisis lingkungan dalam analisa tulisan ini mencoba menyamakan, atau setidaknya memposisikan sama antara krisis lingkungan dengan problem sosial. Apakah problem sosial dan perubahan sosial bisa diatasi dengan peran individu yang lebih dominan, atau justru struktur yang lebih dominan, dan atau bisa diselesaikan dengan paradigma ketiga, yakni mempertemukan keduanya dengan cara menemukan lingkage-nya masing-masing. Memposisikan problem krisis lingkungan sejajar dengan problem sosial, dengan demikian, nampaknya tidak begitu berlebihan. Hemat saya, inilah perdebatan paling awal mengenai bagaimana governance lingkungan dipraktekkan.

II. PEMBAHASAN

  1. Modernisme, Kapitalisme dan Krisis Lingkungan Global

Penulis menempatkan modernisme dan kapitalisme secara bersamaan dikarenakan keduanya merupakan pemilik saham terbesar munculnya krisis lingkungan. Ketika alam pemikiran modern dengan segala apa yang ditawarkannya menjadi pandangan dunia bagi kebanyakan manusia modern, ternyata memunculkan berbagai absurditas bagi kelangsungan hidup manyusia itu sendiri dan juga memunculkan krisis lingkungan. Hal pertama yang pantas untuk dituduh adalah dominasi nalar antroposentrisme dalam poros pemikiran modern yang begitu mengagungkan eksistensi manusia karena rasionalitasnya dengan mengsubordinasikan eksistensi yang lain yang tidak rasional, termasuk alam dan ekosistemnya. Pengertian modern (modernitas) di sini tentu tidak hanya merujuk pada sebuah periode sejarah setelah abad pertengahan, ataupun sebuah pengalaman kultural tertentu, melainkan juga merujuk pada bangunan epistemologis dan filosofis yang memikirkan karakter tertentu mengenai pengetahuan dan kebenaran.

Secara historis kesadaran akan modernitas ini berawal dari masa Renaisance pada abad ke-16 dan memuncak pada Aufklarung pada abad ke-18. Pada masa-masa inilah kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan alam semesta mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!). Secara filosofis, tokoh besar yang merumuskan semangat modernitas adalah Rene Descartes. Ungkapannya yang teramat masyhur Cogito ergo sum telah menandai kesadaran baru ini: pertama, manusia atau “aku” adalah subjek yag menghadapai alam lahiriah yang dibedakan dengan alam batiniah, dan kedua, bahwa pengetahuan manusia mengenai kenyataan adalah produk pemikiran mereka sendiri dan bukan berasal dari tradisi atau wahyu.[1]

Dengan kata lain, alam pemikiran modern adalah masa di mana rasionalitas manusia muncul dan menggeser segala otoritas non-rasio. Ini berarti keyakinan selama ini: bahwa tradisi atau dogma agama sebagai sumber otoritas yang dianggap mampu menjawab segala pertanyaan tentang semesta dan problem-problem yang dihadapi umat manusia, mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, hanya manusia dengan kemampuan rasionyalah yang mampu memahami kenyataan dengan benar dan mampu menjawab perkembangan zaman. Optimisme terhadap kemampuan rasio ini pada akhirnya melahirkan gagasan modern tentang progress, yang merupakan kesadaran akan waktu yang khas dan dihayati sebagai sebuah garis lurus menuju kemajuan (linieritas). Dalam kesadaran baru ini perjalanan waktu tidak melangkah secara repetitif dan imitatif melainkan bergerak linear secara pasti. Kesadaran baru ini meyakini bahwa kekinian adalah peningkatan kualitatif atas kelampauan dan berikutnya menjadi modal peningkatan masa mendatang.[2]

Keyakinan akan rasionalitas manusia dan kepastian akan kemajuan ini pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologis. Dengan sains dan teknologi ini, umat manusia berusaha merealisasikan cita-citanya untuk menguasai alam, dan menghadirkannya untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Namun demikian berbagai peristiwa faktual menunjukkan realitas yang lain. Sains dan teknologi telah membawa bencana yang mahadahsyat; dua perang dunia, konflik ideologi, kemiskinan dan kelaparan, serta krisis lingkungan yang justeru mewarnai optimisme modernitas ini. Dari sinilah lalu cita-cita modernitas dengan segala pranata intelektual dan sosialnya dipersoalkan. Rasio manusia yang diyakini akan membawa dunia ini menjadi lebih baik (better world) malah memupuskan harapan dan cita-citanya sendiri tentang kedamaian, kebahagiaan, dihormatinya martabat kemanusiaan, dan keberlangsungan hidup ekologis. Ya dengan kata lain modernisme telah melahirkan struktur pengetahuan yang dilandasi dengan semangat antrophosentrisme. Sebuah pandangan yang sama sekali hanya berpihak pada manusia, bukan lingkungan. Inilah yang di kemudian hari dituduh sebagai biang kerok munculnya krisis lingkungan.

Hans Kung, adalah salah satu di antara sejumlah pemikir yang mengkritik modernitas. Dengan lugas ia menegaskan bahwa kemajuan sains modern yang sepenuhnya bersandar pada rasio tidak seluruhnya membawa kemajuan umat manusia, begitu juga rasionalitas sains dan teknologi. Rasio pencerahan akhirnya jatuh pada irrasionalitas dan tenggelam dalam jurang kehancuran karena pemikiran saintifik dan teknologi tidak bisa memberikan dasar jawaban bagi problem-problem yang diakibatkannya. Tepatnya, pemikiran modern tidak mampu memberikan kerangka etika global untuk mengantisipasi dampak kemajuan dan perkembangan kehidupan modern sendiri yang semakin terdiferensiasi dan tersekularisasi. Hans Kung kemudian menawarkan gagasan tentang etika global pasca modernis, yang baginya mampu menjadi landasan atik bagi masyarakat global yang telah hancur oleh gempuran modernitas.[3]

Apa yang telah penulis kemukakan mengenai problem modernisme tersebut di atas belumlah berakhir. Terdapat problem krusial sebagai kelanjutan dari modernisme. Kita telah mafhum bahwa dari rahim modernitas inilah lahir “anak kandung” yang kita sebut sebagai “globalisasi”. Globalisasi, dengan tanpa bermaksud menafikan sumbangsihnya, telah mengakibatkan hilangnya identitas kultur nasional dan eksploitasi terhadap negara-negara berkembang menjadi kian tampak. Begitu dominannya motivasi ekonomi dalam relasi antar negara adalah salah satu bukti yang sulit terbantahkan, bagaimana eksploitasi dipraktikkan oleh kapitalisme global. Banyak konsep diciptakan negara maju baik di bidang ekonomi, politik, demokrasi, perlindungan HAM, pengelolaan lingkungan hidup sampai pada konsep good governance yang bertujuan menciptakan demokratisasi, kelestarian lingkungan, perlindungan HAM, maupun terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Tetapi pada kenyataannya, antara konsep dan implementasinya sering terjadi kesenjangan. Negara maju yang menguasai teknologi dan akumulasi kapital justru sering memberlakukan standar ganda, berlaku tidak fair dan menggunakan isu tersebut untuk menekan dan memperlemah daya saing negara berkembang. Tujuannya menguasai dan menciptakan ketergantungan. Konsep perdagangan bebas (free trade) misalnya, dengan jiwanya yang liberal, ibarat mempertemukan dalam suatu pertarungan antara gajah dengan kambing. Dari segi SDM, penguasaan teknologi, kecukupan modal, dan kualitas produk misalnya, negara berkembang tentu jauh tertinggal dengan negara maju. Dari sudut politik dagang, konsep pasar bebas sebenarnya adalah upaya negara maju untuk memperlemah daya saing negara berkembang.

Selain itu, konsep good governance -yang sering dimaknai sebagai pengelolaan atau pengarahan yang baik dengan menciptakan penyelenggaraan negara yang solit, bertanggung jawab, efektif dan efisien, dan menjaga keserasian interaksi yang konstruktif di antara domain negara, sektor swasta dan masyarakat- pada kenyataannya digunakan oleh negara maju tidak lebih sebagai alat ekonomi, yakni untuk memuluskan jalan investasi dan memperlemah daya saing negara berkembang. Diciptakannya standar penilaian tingkat daya saing produk suatu negara berkaitan penilaian terhadap kinerja good governance khususnya berkaitan dengan good corporate governance (good governance untuk sektor bisnis).

Jika good governance dipahami sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik, sebenarnya mempunyai kesamaaan dengan fungsi manajemen dan sistem operasi prosedur. Kesamaannya adalah ketiganya sama sebagai strategi, cara atau metode berkenaan dengan pencapain tujuan bersama (bukan orang-seorang). Pada kenyatanya negara-negara maju mengusung konsep ini terutama di negara berkembang, dengan satu tujuan utama bukan untuk membuat mekanisme administrasi dan birokrasi negara menjadi “bersih” dan “demokratis”, akan tetapi lebih pada kepentingan utamanya yaitu mengghilangkan hambatan dan memuluskan jalannya investasi kaum kapitalis.

Dengan demikian, kata kunci good governance itu tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari paradigma neo-liberalisme yang sedang dikampanyekan oleh IMF, Bank Dunia, dan Lembaga-Lembaga Donor lainnya, baik yang bersifat lembaga non-pemerintah, pemerintah atau kombinasi keduanya. Mereka banyak menyokong gerakan antikorupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan dan bertanggungjawab dengan kata kuncinya gerakan tersebut ingin mewujudkan good governance. Kita boleh mengacungi jempol tentang kepeduliannya untuk membantu suatu negara menciptakan good governance. Yang harus diwaspadai adalah agenda-agenda terselubung dan landasan pemikiran aktivitas lembaga donor tersebut, yakni agenda kaum kapitalis.

Secara tegas Jagjit Kaur Plahe dan Pieter van der Gaag, sebagaimana dikutip oleh Sonny Keraf, menuduh dan bahkan tidak mempercayai aktivitas negara-negara donor dalam mengusung konsep tersebut tidak diikuti oleh kepentingan ekonomi. Ia menengarai bukan kegiatan yang berdiri sendiri dan murni untuk membuat suatu negara lebih demokratis dalam pelaksanaan birokrasi administrasinya, akan tetapi kesemuanya itu tidak lebih sebagai manifestasi dari paradigma neo-liberalisme, yang dikampanyekan oleh Bank Dunia (World Bank) dan kedua “saudara kandungnya” yaitu International Monetary Found (IMF) dan Wold Trade Organitation (WTO).[4] Dari sini tampak jelas kemana konsep good governance sebetulnya diarahkan, yakni bukan untuk menyiapkan negara berkembang dan negara tertinggal untuk menyongsong kepenglolaan pemerintahan yang baik dan menumbuhkan demokratisasi, akan tetapi sebagai instrumen ekonomi kapitalis.

Mengapa demikian? Ya, karena pada dasarnya konsep good governance lahir dari rahim dunia usaha (korporat). Ia lahir karena ada desakan untuk menyusun sebuah konsep yang berfungsi menciptakan pengendalian (bukan sekedar pengawasan) yang melekat (built in) kepada korporasi dan manajer profesionalnya. Tujuannya adalah pengelolaan usaha harus benar-benar memberikan manfaat kepada pemiliknya. Rujukan paling jelas adalah ketika pada akhir tahun 1980-an terjadi proses pembelajaran dalam kegiatan sektor publik tentang bagaimana menciptakan pengendalian itu. Salah satu buku yang menjadi rujukan bagi setiap manajer sektor publik adalah karangan David Osborne dan Ted Gaebler dengan judul Reinventing Government: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector. Bersamaan dengan itu konsep good governance menjadi populer dan lembaga-lembaga dunia seperti PBB, bank Dunia dan IMF meletakkannya sebagai kriteria untuk memberikan penilaian sebagai negara “baik” dan “berhasil dalam pembangunan”, bahkan dijadikan “semacam” kriteria untuk memperoleh bantuan optimal.[5] Globalisasi, karena motif ekonominya yang sangat dominan, dengan demikian, pada akhirnya tidak ramah terhadap lingkungan. Lingkungan tidak lain dan tidak bukan adalah sumber daya yang harus dieksploitasi sebesar-besarnya demi kepentingan ekonomi.[6]

  1. Antara Governance dan Govermentality: Belajar dari Teori Strukturasi.

Dari ulasan di atas kita telah mengetahui bahwa pemilik saham terbesar munculnya krisis lingkungan adalah dua narasi besar, yakni alam pikiran modernis yang antroposentris dan globalisasi ekonomi yang juga antroposentris, lalu bagaimana kita menempatkan posisi secara strategis memainkan peran; apakah lebih mempercayakan kepada struktur, individu atau pertautan keduanya di dalam upaya mengatasi krisis lingkungan?

Sebagai sebuah landasan berpikir, nampaknya perlu dikemukakan terlebih dahulu mengenai asumsi-asumsi dasar teori sosial. Dalam memahami teori-teori sosial, kita tidak bisa melupakan begitu saja tiga toeri sosial paling hegemonik di dunia saat ini, yakni teori struktural fungsional, struktural konflik, dan konstruksionisme. Para penggemar ilmu-ilmu sosial sering menyebutnya sebagai sebuah narasi agung (the grand narative). Teori sosial sebenarnya adalah sebuah teori yang mencoba memahami “bagaimana proses dan tertib sosial berlangsung”. Beberapa asumsi yang kemudian menjadi titik pijak bagi munculnya teori-teori sosial adalah: 1). proses dan tertib sosial berlangsung karena bentukan atau produk dari masyarakat. 2). proses dan tertib sosial berlangsung karena bentukan atau produk dari individu. 3). proses dan tertib sosial berlangsung karena adanya tarik menarik antara individu dan masyarakat.

Adalah Alivin W Gouldner (1971) yang memulai mengutarakan pemikirannya, bahwa proses dan tertib sosial berlangsung tergantung pada asumsi yang mendasari cara seseorang memandang manusia dan masyarakat. Asumsi atas disposisi tentang keyakinan bahwa manusia adalah rasional atau irasional, masyarakat adalah berubah atau secara fundamental stabil, masalah dalam masyarakat akan baik dengan sendirinya tanpa intervensi yang direncanakan, perilaku tidak bisa diprediksi, dll. Paradigma ini masih memposisikan individu memiliki peran penting untuk menkonstruksi tatanan dunia. Dengan demikian, menurut paradigma ini, krisis lingkungan bisa diatasi dengan memaksimalkan peran individu di dalam menciptakan tatanan dunia yang bebas dari krisis lingkungan. Paradigma ini telah melahirkan teori sosial yang beraliran fenomenologis dan juga konstruksionisme ala Max Weber.

Sementara Kenneth Thompson dan Jeremy Tunstall (1973) mengusulkan kebalikan dari paradigma yang disuguhkan oleh Alivin W Gouldner di atas. Bagi Thompson dan Tunstall, proses dan tertib sosial berlangsung tergantung pada bagaimana memahami makna “manusia dalam masyarakat”. Paradigma ini mengasumsikan pentingnya sistem sosial daripada individu. Pada asumsi ini masyarakat diasumsikan sebagai kendala yang menguasai individu atau sebaliknya juga sebagai penggerak perubahan. Oleh karenanya, masyarakat dan sistem sosialnya (struktur) merupakan pilar terpenting untuk membentuk tatanan dunia yang bebas dari krisis lingkungan. Paradigma ini telah menghasilkan dua teori sosial yang menekankan pada “dominasi struktur”, yakni teori struktural fungsional (Emile Durkheim dan Persons), dan teori struktural konflik (Karl Marx, dan Neo Marxis).

Lain lagi dengan Antony Giddens yang mencoba untuk tidak percaya lagi dengan para pendahulunya. Bagi Giddens, proses dan tertib sosial berlangsung bukan lagi bergantung pada individu (tatanan mikro) maupun masyarakat dengan sistem sosialnya (tatanan makro), melainkan karena adanya linkage/pertautan antara mikro dan makro, subjek dan objek. Dengan gayanya yang khas ini, Giddens kemudian menawarkan teori strukturasi yang menoba menunjukan bahwa dalam kehidupan sosial terdapat hubungan antara tindakan pemahaman atau penafsiran seseorang dengan munculnya sistem sosial yang stabil. Situasi semacam ini berada di luar konsekuensi dari cara seseorang menggambarakan tindakan yang mereka lakukan dalam rangka mewujudkan tujuan. Dengan kaca mata teori strukturasi, kita tidak lagi relevan berbicara siapa yang seharusnya berperan lebih di dalam mengatasi krisis lingkungan, apakah individu ataukan struktur. Karena, menurut paradigma strukturasi, keduanya saling berperan.[7] Baiklah, agar pembahasan ini semakin tidak kehilangan ruhnya, nampaknya perlu terlebih dahulu melihat bagaimana paradigma berbagai aliran teori sosial yang begitu menghegemoni dunia hingga saat ini, dan bagaimana kita akan memakainya di dalam krisis lingkungan.

Pertama; Teori Struktural.[8] Teori struktural memiliki beberapa teori turunannya, yakni struktural fungsional (tokohnya: Auguste Comte dengan teori hukum tiga tahap, Herbert Spencer dengan teori Darwinisme sosial, dan Emile Durkheim dengan teori fakta sosial), struktural konflik (tokohnya: Karl Marx dengan teori konflik pertentangan kelas, dan Antonio Gramsci [neo-Marxix] dengan teori hegemoni), neo-fungsional (tokohnya: Jeffrey Alexander dan Colomy yang mencoba memperbaiki teori struktural fungsional yang terlalu deterministik), dan konflik alternatif (tokohnya: Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randall Collins yang mencoba memperbaiki teori struktural konflik yang dianggapnya terjebak pada analisis ekonomi). Tanpa bermaksud melakukan reduksi, penulis sengaja mengelompokkan beberpa teori tersebut di atas dalam satu frame teori struktural, karena memiliki persamaan paradigmatik, yakni struktur lebih berperan penting di dalam menentukan proses dan tertib sosial serta tatanan dunia. Meski cara pandang masing-masing terhadap struktur berbeda (terutama mengenai hakikat konflik) antara struktural fungsional, struktural konflik, neo-fungsional, neo-marxis, dan konflik alternatif. Secara umum teori struktural dan berbagai teori turunannya tersebut di atas cenderung sangat konservatif, karena menganggap bahwa proses dan tertib sosial serta tatanan dunia berlangsung karena bentukan struktur, individu sama sekali tidak memiliki peran apapun.

Jika kita lihat dari perspektif teori struktural fungsional, maka dalam menyelesaikan krisis lingkungan yang lebih berperan adalah struktur, seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, NGO, dll. Sementara individu tidak memiliki peran yang signifikan di dalam mengatasi krisis lingkungan. Jika mengikuti apa yang ditulis oleh Debra J. Davidson dan Scott Frickel (2004), maka paradigma yang dipakai dalam teori struktural fungsional adalah pluralisme, agency capture, ecological marxisme, dan social construction.[9]

Paradigma tersebut di atas percaya bahwa struktur merupakan pengambil peran utama di dalam menyelesaikan krisis lingkungan. Paradigma pluralisme misalnya, yang lebih memfokuskan pada negara (bukan civil society) yang lebih berperan penting dengan pertimbangan efektifitas penyelesaian krisislingkungan, yakni dengan regulasi dan birokrasi. Begitu juga paradigma Agency Capture yang memfokuskan pada peran negara. Negara dengan kekuatan birokrasinya, bagi paradigma agency capture, berfungsi melayani kepentingan publik. Dalam konteks ini, birokrasi merupakan satu-satunya otoritas yang menjalankan peran penyelesaian krisis lingkungan karena memiliki dua peran sekaligus, yakni menciptakan regulasi demi kepentingan publik, dan sekaligus mengelola atau mengeksploitasi alam demi kepentingan publik dengan berbagai regulasi perlindungan terhadap lingkungan. Begitu juga dengan paradigma Social Constructuion yang menekankan pada peran regulasi negara. Bagi paradigma ini, regulasi negara untuk ligkungan merupakan hasil konstruksi antara negara dan aktor-aktor sosial yang saling berhubungan. Jika kita lihat semua paradigma yang dipakai oleh mereka yang berada di garis strukturalisme, dimana penekanannya diserahkan kepada struktur yang harus terlibat di dalam mengatasi krisis lingkungan dengan mekanisme perintah dan control (command and control aproach), bukan secara volunter (voluntary aproach).

Kedua; Teori Konstruksionisme.[10]Jika strukturalisme lebih percaya pada struktur, maka konstruksionisme justru sebaliknya, ia percaya pada individu-individu yang otonom yang bisa melakukan perubahan sosial. Tradisi konstruksionisme kemudian melahirkan tradisi sosiologi yang berbeda. Di Amerika misalnya melahirkan Sosiologi Interaksionisme, pengagasnya adalah Simmel dan George Herbert Mead. Sementara di Eropa melahirkan sosiologi Fenomenologi, pengagasnya antara lain Max Weber, Alfred Schutz, Bergson, dan E. Husserl). Tokoh utamanya adalah Max Weber (1864-1922). Weber dikenal sebagai seorang yang terlahir dari keluarga menengah. Bapaknya seorang pejabat penting, sehingga tinkah lakunya sangat “mapan” dan “tertib”. Ibunya adalah seorang yang saleh dengan sikap-sikapnya yang asketis. Dari perbedaan sikap hidup kedua orang tuanya inilah Weber muda mengalami ketegangan. Awalnya ia mengikuti gaya hidup ayahnya yang “ditertibkan”, tetapi kemudian ia antipati kepadanya dan memilih mengiuti gaya hidup ibunya yang asketis. Ia mengatur hidupnya sendiri dan menyiapkan malamnya sendiri. Dari sinilah teori sosiologinya dipengaruhi oleh kebiasaannya. Bagi Weber, tindakan individu merupakan bagain terpenting dalam gagasan sosiologisnya. Bagaimana ia melihat individu menjalin dan memberi makna terhadap hubungan sosial dimana individu menjadi bagian di dalamnya. Weber melihat bahwa individu merupakan kunci (yang mempengaruhi) tindakan sosial di dalam masyarakat, tetapi dengan catatan bahwa tindakan sosial individu ini berhubungan dengan rasionalitas (baik rasionalitas instrumental [orientasi pada tujuan tindakan dan alat yang digunakan] maupun rasionalitas yang berorientasi nilai. Individu, dalam bayangan Weber, merupakan pemilik macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya. Individu bergerak “bebas” dan mampu menentukan masyarakat dan strukturnya, meskipun harus ada “kesepakatan” dengan individu-individu yang lain.

Kita mungkin tidak bisa melupakan pandangan fenomenologi dan konstruksi sosial yang diusung oleh E. Husserl dan Alfred Schutz. Fenomenologi merupakan bentuk dari idealisme yang semata-mata tertarik pada struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya kesadaran manusia. Dunia yang kita huni, dalam pandangan fenomenologi, merupakan ciptaan dari kesadaran-kesadaran yang ada di dalam kepala individu masing-masing. Proses bagaimana manusia membangun dunianya adalah melalui proses pemaknaan yang berawal dari arus pengalaman. Fenomenologi menempatkan peran individu sebagai pemberi makna, dan dari proses pemaknaan oleh individu inilah yang kemudian menghasilkan tindakan yang didasari oleh pengalaman sehari-hari yang bersifat intensional. Individu kemudian memilih sesuatu yang “harus” dilakukan berdasarkan makna tentang sesuatu, dan mempertimbangkan pula makna objektif (masyarakat) tentang sesuatu tersebut.

Jika kita lihat dari perspektif teori konstruksionisme, maka dalam menyelesaikan krisis lingkungan yang lebih berperan adalah individu, bukan struktur seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, NGO, dll, sebagaimana diasumsikan oleh teori struktural. Justru dalam perspektif konstruksionisme individu memiliki peran yang signifikan di dalam mengatasi krisis lingkungan. Dan jika mengikuti apa yang ditulis oleh Debra J. Davidson dan Scott Frickel (2004), maka paradigma yang dipakai dalam teori konstruksionisme (interaksionisme dan fenomenologis) adalah ecological modernization dan global environmental.[11]

Paradigma tersebut di atas percaya bahwa individu merupakan pengambil peran utama di dalam menyelesaikan krisis lingkungan. Paradigma ecological modernization misalnya, yang lebih memfokuskan pada bagaimana individu di dalam masyarakat harus memperhatikan kesinambungan lingkungan demi kemanfaatan masa depan di dalam pemanfaatan lingkungan. Begitu juga paradigma Global Environmental. Paradigma ini juga percaya bahwa masyarakat global harus melakukan langkah-langkah dan berperan di dalam mengatasi krisis lingkungan. Biasanya peran ini dimainkan oleh organisasi-organisasi internasional dan NGO lingkungan. Jika kita lihat asumsi keduanya, maka civil society dipandang lebih berperan penting di dalam mengatasi krisis lingkungan. Penekanannya adalah diserahkan kepada masyarakat dan individu yang harus terlibat di dalam mengatasi krisis lingkungan secara volunter (voluntary aproach).

Ketiga; Teori Strukturasi.[12] Dalam perkembangan sosiologi kontemporer, tradisi strukturalisme dan konstruksionisme di atas kemudian mendorong munculnya teori Strukturasi yang diprakarsai oleh Antony Giddens. Teori strukturasi mencoba mencari linkage/pertautan setelah terjadi perseteruan tajam antara struktural fungsional dan konstruksionisme-fenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalis mereduksi aktor dalam struktur, kemudian sejarah dipandang berlangsung secara mekanis, dan bukan suatu produk kontingensi dari aktifitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperialisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakhiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran (struktural fungsional dan konstruksionisme). Dari hasil kerja “mempertemukan” keduanya inilah Giddens merekonseptualisasikan tindakan, sekaligus menawarkan perspektif baru yang disebutnya teori strukturasi.

Bagi Giddens, perubahan sosial bukan muncul hanya dari sang aktor individual, dan juga bukan hanya dari struktur, melainkan muncul di dalam ruang dan waktu. Gidens kemudian menyusun formasi pemikirannya sebagai berikut: 1). Masyarakat bukan merupakan realitas objektif yang telah jadi, melainkan diciptakan oleh tindakan-tindakan anggota-anggotanya sebagai agen yang membutuhkankemampuan dari sang agen, 2). Sang agen tidak bebas memilih bagaimana menciptakan masyarakat, tetapi dibatasi oleh kendala (constraint) lokasi sejarah di luar pilihan mereka sendiri. Struktur dalam hal ini memiliki kapasitas ganda: bisa menjadi kendala, tetapi juga bisa menjadi peluang (enabling) bagi manusia agensi. Setiap tindakan manusia atau struktur mengandung tiga aspek: makna, norma, dan kekuasaan. 3). Sosiolog tidak mungkin menghindari pengalaman mereka sendiri sebagai basis memahami kehidupan sosial, bahkan hal ini harus dipegangi secara konsisten. Sosiolog harus melibatkan diri ke dalam situasi yang menjadi subjek analisisnya. 4). Konsep formasi mencakup double hermenutic. Sosiolog harus menjaga ketelitian dengan konsepnya sehingga sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Tugas utama sosiologi adalah melakukan rediskripsi terhadap seting sosial dengan meta bahasa, dan selalu bisa dikonfirmasi terhadap prinsip bahwa masyarakat merupakan manusia agency. Ungkapan di atas dapat kita pahami bahwa: untuk terjun dalam praktik sosial seorang aktor harus mengetahui cara berpartisipasi sesuai konteks (ruang dan waktu) dan cara mengikuti suatu peraturan. Secara sederhana, sebenarnya Giddens hendak menunjukkan bahwa perubahan sosial akan mungkin bila ada agen dan sekaligus sebuah struktur sebagai mediumnya.

Belajar dari apa yang dikemukakan oleh Antony Giddens, hemat penulis teori strukturasi nampaknya merupakan alternatif yang logis untuk dikembangkan dalam rangka mengatasi krisis lingkungan, meskipun sebenarnya teori strukturasi pada akhirnya juga terjebak kepada struktur, karena usaha mempertemukan keduanya berakhir pada struktur. Dengan kata lain ia tidak lebih dari sebuah usaha yang berbelok-belok yang berakhir pada struktur. Kendati demikian, apresiasi terhadap usahanya mempertemukan antara kedua teori yang berseberangan (strukturalisme dan konstruksionisme-fenomenologis) tampaknya perlu dikembangkan.

Jika dalam teori struktural fungsional yang lebih berperan di dalam menyelesaikan krisis lingkungan adalah struktur, seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, NGO, dll sebagaimana diperagakan oleh pluralisme, agency capture, ecological marxisme, dan social construction. Sementara teori konstruksionisme (interaksionisme-fenomenologis) lebih percaya pada peran individu (bukan struktur) di dalam mengatasi krisis lingkungan, sebagaimana diperagakan oleh ecological modernization dan global environmental. Maka teori strukturasi mencoba mempertemukan keduanya, ia justru memakai dan meletakkan prinsip governance dan govermentality secara sekaligus.

Dengan demikian perdebatan yang men-versuskan antara governance dan govermentality menjadi tidak relevan. Karena pada prinsipnya governance merupakan tata kelola kepemerintahan yang melibatkan berbagai stake holder (state, civil society, dan private sector), karena governance menolak negara yang otoritatif.[13] Jika governance percaya kepada peran civil society, maka ia justru mensyaratkan govermentality (mastering the self), sebagai bagian dari proses penguatan masyarakat sipil (civil society). Dengan kata lain govermentality merupakan prasyarat governance. Hemat saya antara keduanya (bahkan ketiganya (goverment) bisa dipertemukan dalam bingkai bersama-sama mengatasi krisis lingkungan. Usaha mempertemukannya, kita bisa belajar dari usaha Antony Giddens mempertemukan dua aliran dalam teori sosial yang bersebrangan dengan menemukan pertautan atau lingkage-nya masing masing. Jika digambarkan dalam bentuk diagram, maka pertautan antara governance, govermentality, dan goverment akan tampak seperti berikut ini:




III. KESIMPULAN DAN PENUTUP

Demikianlah beberapa pokok pikiran mengenai bagaimana problem krisis lingkungan diposisikan dalam teori strukturasi. Teori ini begitu memberikan gambaran yang menolak ekstrimisme dua kubu yang berdiri berseberangan, yakni teori strukturalisme dan konstruksionisme-fenomenologis. Belajar dari bagaimana teori strukturasi mempertemukan kedua kubu yang berseteru itu, kita juga bisa “mempertemukan” perdebatan yang meng-versuskan antara governance dan govermentality oleh sebagian orang. Usaha mempertemukan ini didasarkan pada asumsi bahwa governance sebenarnya mensyaratkan govermentality. Tulisan ini tentu banyak kekurangan, setidaknya melalui kesadaran ini penulis berharap saran dan kritik yang konstruktif.

DAFTAR BACAAN

A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta, 2002.

Debra J. Davidson dan Scott Frickel, Understanding Environmental Governance, dalam Organization and Environment, Vol. 17. No. 4, Desember 2004.

F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003.

Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, New York: Crossroad Publishing Company, 1991.

http://www.menpan.go.id/main_news.asp?id=104,

Jon Pierre (ed), Debating Governance: Authority, Steering, and Democracy, Oxford University Press, New York, 2000.

Zainuddin Maliki, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik, LPAM (Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat), Surabaya, 2003.



[1] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hlm. 95

[2] F. Budi Hardiman, Ibid. hal. 96

[3] Lihat Hans Kung, Global Responsibility In Search of a New World Ethic, New York: Crossroad Publishing Company, 1991. Dalam bagian awal bukunya ini, Kung secara deskriptif menelanjangi cacat dan tragedi kemanusiaan yang dihasilkan oleh patologis modernitas (hilangnya tradisi dan makna hidup, hilangnya kriteria etika tanpa syarat, dll). Tragedi ini meliputi: pembunuhan dan kematian jutaan manusia akibat perang, kemiskinan dan kelaparan, kerusakan dan pencemaran lingkungan oleh industri-industri besar, dan juga bencana pemanasan global. Selain itu, dunia yang terdiferensiasi dalam bentuk negara-negara bangsa dan berbagai macam ideologi telah melahirkan konflik dan perang. Sementara sekularisasi telah menghasilkan moralitas baru yang semata-mata berdasarkan rasio atau yang dalam dunia kapitalisme didasarkan pada pertimbangan analisis pasar.

[4] A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta, 2002, hlm. 227.

[5] Lihat dalam http://www.menpan.go.id/main_news.asp?id=104, diakses pada tanggal 10 Desember 2007 pukul 13.00 WIB.

[6] A. Sonny Keraf juga mengungkapkan hal yang sama: bahwa ekonomi global sangat berperan terhadap munculnya krisis lingkungan. Lihat selengkapnya, A. Sonny Keraf, op. cit, terutama pada Bab 10 tentang Ekonomi Global dan Krisis Ekologi, hlm. 216-248.

[7] Lihat selengkapnya dalam Zainuddin Maliki, Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik, LPAM (Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat), Surabaya, 2003, hlm. v-viii

[8] Kutipan ini merupakan rangkuman panjang dari buku Narasi Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik karya Zainuddin Maliki. Ibid, hlm. 39-213.

[9] Lihat Debra J. Davidson dan Scott Frickel, Understanding Environmental Governance, dalam Organization and Environment, Vol. 17. No. 4, Desember 2004.

[10] Ibid, hlm. 219-223.

[11] Lihat kembali Debra J. Davidson dan Scott Frickel, op, cit.

[12] Ibid, hlm. 237-252.

[13] Untuk penjelasan selengkapnya mengenai governance, lihat Jon Pierre (ed), Debating Governance: Authority, Steering, and Democracy, Oxford University Press, New York, 2000.

posted by RUSMADI the rose @ 11.57.00   0 comments
Populasi dan Politik Lingkungan

Oleh: Rusmadi*

Kita mungkin tidak bisa melupakan ketika pemerintah Indonesia, India, dan juga Bangladesh serta umumnya negara-negara di dunia ketiga begitu gencar mengkampanyekan gerakan Keluarga Berencana (KB) sebagai salah satu program meningkatkan kualitas hidup warganya. Problem pertumbuhan penduduk dan populasi nampaknya benar-benar dianggap sebagai persoalan mendasar bagi buruknya kualitas hidup manusia. Lebih dari itu, seorang ekofeminis seperti Vandana Shiva dan Maria Mies (1993), bahkan mencatat bahwa sejak Pertemuan Bumi (UNCED) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, pertumbuhan penduduk telah dipandang sebagai penyebab utama merosotnya kualitas lingkungan pada skala global. Karena mengasumsikan adanya hubungan sebab-akibat antara meningkatnya jumlah penduduk dan kerusakan pondasi ekologis bumi ini, maka solusi yang ditawarkan adalah kebijakan-kebijakan pembatasan kelahiran yang semakin sinis dan tidak manusiawi, termasuk pemaksaan penggunaan teknologi kontrasepsi bagi perempuan. Pandangan ini kemudian dipropagandakan di seluruh dunia tidak hanya oleh negara-negara maju yang kepentingan politik dan ekonominya sangat dominan, tetapi juga oleh PBB, atas nama penyelamatan ekologi bumi.

Kendati para pendukung Pertemuan Bumi sejatinya mengakui bahwa industrialisasi, kemajuan teknologi dan gaya hidup pemborosan produksi-konsumsi negara-negara maju merupakan faktor penyebab merosotnya kualitas lingkungan global, akan tetapi mereka kemudian lebih suka mengaitkannya dengan penyebab tunggal, yakni pertumbuhan penduduk. Bagi pendukung pandangan ini, populasi benar-benar menjadi momok bagi keberlangsungan ekologis bumi. Memang, di negara-negara maju di utara telah terjadi penurunan tingkat kelahiran, akan tetapi penurunan ini diimbangi dengan semakin tingginya tingkat imigrasi akibat pertumbuhan penduduk yang masih berlangsung begitu cepat (mencapai 95 persen) di negara-negara miskin di selatan (Asia dan Afrika).

Melalui tulisan ini, penulis tentu saja tidak sedang membantah pandangan yang mengatakan bahwa pertumbuhan populasi akan berakibat pada menurunnya kualitas ekologis bumi. Bagaimanapun sulit untuk mengelak, bahwa populasi pada akhirnya benar-benar menjadi beban bagi kapasitas ekologi bumi. Akan tetapi terdapat beberapa hal yang harus dikritik dari pandangan-pandangan tersebut di atas, yakni mengapa populasi kemudian dianggap menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan, dan oleh karenanya solusi yang ditawarkannya adalah pembatasan pertumbuhan populasi?, dan mengapa paradigma pembangunan, sistem dunia yang kolonialistik dan eksploitatif, serta gaya hidup dan pemborosan produksi-konsumsi negara-negara maju yang sejatinya menjadi penyebab utama krisis lingkungan justru hanya dianggap angin lalu?.

UNFPA (United Nations Funds for Population Action), -sebagaimana diungkap Vandana dan Maria- sebenarnya mengakui kenyataan ini: “dengan semakin tingginya pemanfaatan sumber daya alam dan sampah yang dihasilkannya, maka sebenarnya yang bertanggungjawab adalah mereka yang tinggal di negara-negara maju. Negara-negara inilah yang seharusnya paling bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan”. Kendati muncul pemahaman semacam ini, namun pada kenyataannya kebijakan yang ditempuh justru dalam rangka membendung tren laju pertumbuhan penduduk. Dengan kata lain, telah terjadi pengalihan isu (dari pola gaya hidup dan pemborosan produksi-konsumsi negara-negara maju) ke populasi negara-negara miskin di dunia ketiga. Pengalihan isu ini didukung dengan argumentasi-argumentasi Malthusian yang percaya bahwa pada gilirannya model pertumbuhan ekonomi dan politik di negara-negara maju akan diikuti oleh seluruh negara-negara di dunia ketiga. Dengan demikian, gaya hidup negara-negara maju adalah wajar, karena pada akhirnya negara-negara dunia ketiga juga akan mengalami hal yang sama. Lalu?, yang tidak wajar adalah pertumbuhan penduduk di dunia ketiga yang menyebabkan krisis lingkungan, karenanya mereka harus membatasi jumlah kelahiran.

Pengambilan contoh yang tepat mungkin adalah soal yang terkait dengan pertumbuhan mobil. Bagi mereka, jika penghasilan penduduk di negara-negara dunia ketiga meningkat, maka gaya hidup produksi-konsumsinya akan menyerupai apa yang terjadi di negara-negara maju, dan akan ada peningkatan dalam kepemilikan mobil. Bagaimanapun, meningkatnya pertumbuhan populasi dunia dan ekonominya, pada akhirnya akan diikuti dengan meningkatnya tingkat gaya hidup dan pemborosan produksi-konsumsi rata-rata penduduk, yakni gaya hidup kepemilikan mobil, televisi, kulkas, dll, misalnya. Akan tetapi, ketika telah diakui bahwa gaya hidup dan pemborosan produksi-konsumsi penduduk akan menjadi ancaman lingkungan, mereka yang hidup di negara-negara maju tetap mempertahankan perkembangan industri demi mendukung gaya hidupnya, dan oleh karenanya “populasi mobil” juga harus tetap dikembangkan.

Sedangkan untuk mengatasi krisis lingkungan yang diakibatkan oleh populasi mobil, maka populasi penduduk (yang tidak akan mampu membeli mobil) di negara-negara dunia ketiga harus diturunkan. Inilah dilema sesungguhnya yang dialami oleh dunia industri negara-negara maju, yakni dilema antara pertumbuhan industri (ekonomi), gaya hidup, dan krisis lingkungan. Mereka sebenarnya mengakui bahwa industrilah yang menyebabkan krisis lingkungan. Akan tetapi demi gaya hidupnya, mereka tidak mau mengorbankan pertumbuhan industrinya. Akibatnya, mereka kemudian melimpahkan kesalahan dan sekaligus cara penyelesaiannya pada korbannya, yakni populasi penduduk negara-negara di dunia ketiga.

Tidak hanya populasi, ekosistem di negara-negara dunia ketiga (ekosistem lokal) juga turut “ketiban sial”, karena bagaimanapun ekosistem lokal tidak hanya menanggung beban populasi lokal saja, tetapi juga menanggung beban terhadap tuntutan negara-negara maju untuk kebutuhan industri dan konsumsi bahan baku (beban populasi global). Dengan kata lain, ekosistem lokal menanggung beban ganda: memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, sekaligus memasok komoditas dan bahan baku untuk pasar global. Oleh karenanya, masyarakat lokal di negara-negara dunia ketiga dituntut untuk mengurangi pemanfaatan sumber daya alam dan juga mengurangi pertumbuhan populasi penduduknya. Akibat adanya eksploitasi dari negara-negara maju, maka ukuran apa yang seharusnya dipertahankan dalam basis produksi, konsumsi, dan pola-pola gaya hidup masyarakat lokal menjadi tak dapat dipertahankan lagi.

Visi Baru Penyelamatan Pondasi Ekologis Bumi

Jika kita berpikir secara bijak, maka pertumbuhan populasi sebenarnya bukan merupakan penyebab utama dari krisis lingkungan, melainkan hanya salah satu dari sekian banyak penyebab. Ia sejajar dengan gaya hidup dan pemborosan produksi-konsumsi negara-negara maju. Menganggap pertumbuhan populasi penduduk negara-negara miskin di selatan sebagai yang paling bertanggungjawab hanyalah karena begitu dominannya kepentingan ekonomi negara-negara maju dan demi mempertahankan gaya hidupnya.

Menyalahkan pada populasi sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan menjadi keliru di dalam dua hal; 1). menyalahkan korban, dan 2). menyembunyikan persoalan yang sesungguhnya, karena yang seharusnya lebih bertanggungjawab adalah mereka yang tinggal di negara-negara maju karena gaya hidup dan pemborosan produksi-konsumsinya. Persepsi yang keliru pada akhirnya menyebabkan solusi yang keliru pula. Sebagai akibatnya, krisis lingkungan, kemiskinan, dan pertumbuhan populasi terus menjadi persoalan yang tidak bisa diselesaikan. Hemat penulis, jika solusinya diarahkan kepada akar persoalannya mungkin sedikit ada harapan, yakni merubah sistem dunia yang eksploitatif, seperti ekonomi pasar yang justru menyebabkan kemiskinan menjadi sistem ekonomi yang dikontrol oleh negara dan memiliki visi kemakmuran bersama, baik untuk manusia maupun untuk alam.

Kita mungkin telah memahami bahwa terdapat kecenderungan sebuah populasi jika jaminan keamanan ekonomi dan sosialnya tidak ada, maka akan mempertahankan populasinya dengan memperbanyak keturunan. Dengan kata lain, karena sistem ekonomi pasar justru memunculkan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan di negara-negara dunia ketiga, maka pada hakekatnya sistem ekonomi pasar-lah yang menyebabkan terjadinya ledakan penduduk, dan dengan begitu ia pula yang sebenarnya lebih bertanggungjawab atas merosotnya kualitas ekologis bumi. Jika sistem ekonomi pasar yang eksploitatif tetap dipertahankan, maka populasi dan juga krisis lingkungan sudah hampir pasti sulit untuk dibendung.

Penulis melihat bahwa menempatkan populasi menjadi penyebab utama, dan karenanya solusi yang ditawarkan adalah membatasi pertumbuhan populasi, sebagai suatu pandangan yang sulit diterima dan tidak berdasar. Ia tidak lain hanyalah akal-akalan negara-negara maju untuk mempertahankan gaya hidupnya. Tentu saja dengan mudah kita bisa menebak, mengapa mereka mengalihkan isu ke persoalan populasi. Bagaimanapun, demi mempertahankan gaya hidupnya, negara-negara maju jelas membutuhkan bahan baku untuk industrinya. Jika pertumbuhan penduduk di negara-negara dunia ketiga tidak dibatasi, maka cadangan sumber daya alam akan semakin menipis dan tidak mampu lagi mensuplai kebutuhan industri mereka. Oleh karenanya, sebelum terlambat, negara-negara maju melalui lembaga-lembaga internasionalnya mengkampanyekan kebijakan pembatasan pertumbuhan populasi. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan agar ekosistem di dunia ketiga tetap mampu mensuplai dan memenuhi kebutuhan serta gaya hidup negara-negara maju. Ya, inilah orchestra panggung politik yang sedang diperagakan oleh negara-negara maju dengan memanfaatkan isu-isu lingkungan (bio-politic). Populasi dan krisis lingkungan, benar-benar sedang berdiri dalam diskursus relasi kuasa yang bukan tanpa kepentingan.

* Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana Magister Lingkungan dan Perkotaan UNIKA Soegijapranata Semarang.

posted by RUSMADI the rose @ 11.56.00   0 comments
Agama dan Basis Etika Lingkungan Global

Oleh: Rusmadi*

Terdapat pandangan bernada miring menganggap agama-agama (monotheis) sebagai biang keladi munculnya krisis lingkungan yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan banyak orang. Agama monotheis dituding merupakan pendukung utama nalar antroposentrisme yang menyebabkan krisis lingkungan, karena memberikan keistimewaan kepada manusia dengan akalnya, sehingga lebih tinggi kedudukannya daripada alam dan anggota ekosistem yang lain. Bahkan agama-agama monoteheis tidak segan-segan men-declare bahwa alam diciptakan sebagai daya dukung kehidupan manusia. Moralitas yang demikian pada akhirnya menginspirasi manusia untuk mengeksploitasi alam sebesar-besarnya untuk kepentingannya. Jika agama sumber utama moralitas etis, tetapi ternyata menginspirasi tindakan eksploitasi alam, masihkah agama mendapat tempat untuk etika lingkungan? Tulisan ini hendak menepis anggapan miring tersebut di atas, sembari menaruh harap pada agama sebagai basis etika lingkungan global.

Agama Penyebab Krisis Lingkungan?

Hampir tak terbantahkan, nalar antroposentrisme merupakan penyebab utama munculnya krisis lingkungan. Antroposentrisme merupakan salah satu etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat ekosistem. Bagi etika ini, nilai tertinggi dan paling menentukan dalam tatanan ekosistem adalah manusia dan kepentingannya. Dengan demikian, segala sesuatu selain manusia (the other) hanya akan memiliki nilai jika menunjang kepentingan manusia, ia tidak memiliki nilai di dalam dirinya sendiri. Karenanya, alam pun dilihat hanya sebagai objek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Cara pandang antroposentris ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras sumber daya alam dengan sebesar-besarnya demi kelangsungan hidupnya. Tak pelak, krisis lingkungan pun sulit terhindarkan, karena alam tidak mampu lagi berdaya menahan gempuran keserakahan manusia.

Akar antroposentrisme disebut-sebut bersumber dari dua tradisi pemikiran, yakni agama-agama monotheis dan alam pikiran modern. Dari agama, misalnya didasarkan pada Kitab Kejadian pasal 1 ayat 26-28 yang menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah. Dari sinilah seorang pemikir seperti Thomas Aquinas menyebut bahwa manusia berada pada posisi yang terdekat dengan Tuhan, bahkan manusia merupakan imago Dei, sementara makhluk selain manusia (alam dan ekosistemnya) begitu jauh dengan Tuhan. Ungkapan tersebut serupa dengan posisi manusia sebagai khalifah Tuhan yang terungkap di dalam al-Qur’an, misalnya pada surat al-Baqarah ayat 30 dan al-Fatir ayat 39. Karena kekhalifahannya, manusia juga diberi fasilitas kehidupan berupa apa-apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya ditundukkan untuk kepentingan manusia. Hal ini terungkap misalnya pada Surat Luqman ayat 20 dan al-Jatsiyah ayat 13.

Sementara dari alam pikiran modern tersarikan dari esensialisme kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan alam semesta, yang mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah sendiri!) dan Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada)-nya Rene Descartes. Dengan semboyan kokoh ini, alam pikiran modern benar-benar menjadi masa di mana rasionalitas manusia muncul dan menggeser segala otoritas non-rasio, termasuk agama (F. Budi Hardiman: 2003). Dari kesadaran essensialisme inilah embrio nalar antroposentrisme mulai nampak. Keyakinan akan rasionalitas manusia pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi sains dan teknologi hingga munculnya masyarakat ekonomi global yang pada akhirnya membawa bencana yang maha dahsyat, yakni krisis lingkungan yang justru mewarnai optimisme modernitas ini. Mula-mula secara embrional, masyarakat ekonomi global lahir dari rahim revolusi industri dan revolusi hijau, yang telah menggeser masyarakat feodal yang mapan. Masyarakat ekonomi baru ini senantiasa didominasi oleh keinginan untuk memanfaatkan sebesar-besarnya potensi alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia. Karena motif ekonominya yang begitu dominan, pada akhirnya tidak ramah terhadap lingkungan.

A. Sonny Keraf (2002) dengan tegas menyebut bahwa ekonomi global telah melahirkan krisis lingkungan. Secara jitu ia menunjukkan bagaimana negara-negara maju menerapkan strategi ekonominya untuk terus menjajah dunia ketiga melalui organisasi-organisasi ekonomi dunia. Mula-mula strategi itu dimainkan oleh World Bank dan IMF dengan strategi utang luar negerinya. Kemudian melalui organisasi perdagangan dunia (WTO) dengan berbagai institusinya (GAAT, TRIPs, dan GAT), mereka mengeruk kekayaan alam dan kekayaan intelektual dunia ketiga dengan menciptakan ekonomi global dan pasar bebas. Alih-alih ramah terhadap lingkungan, lembaga-lembaga tersebut juga tidak ramah terhadap manusia penghuni dunia ketiga karena akhirnya berkembang menjadi polisi dagang dunia yang hanya menjaga agar tidak ada “pemain” yang dirugikan, bukan menjaga agar tidak ada yang dirugikan.

Agama dan Etika Lingkungan Global

Etika antroposentrisme pada akhirnya bukannya tanpa kritik. Setidaknya, oleh berbagai aliran etika lingkungan yang muncul belakangan, baik oleh etika neo-antroposentrisme (yang hendak memperbaiki kesalahan-kesalahan pendahulunya), etika biosentrisme (yang menganggap semua makhluk adalah pusat kehidupan, dan masing-masing memiliki nilai dan tujuan, dengan demikian, manusia tidak lebih unggul dari spesies yang lain, karena ia tidak lain adalah anggota dari komunitas kehidupan), etika ekosentrisme (yang menganggap bahwa bukan hanya manusia dan benda yang hidup saja yang menjadi anggota ekosistem, tetapi juga benda mati [abiotik]), dan etika kepedulian (yang menganggap bahwa antara manusia dan alam adalah sama-sama lemahnya, dan tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri, karenanya manusia di dalam relasinya dengan alam harus mengedepankan sikap kepedulian).

Pandangan etis yang dikemukakan oleh berbagai etika lingkungan pengkritik nalar antroposentrisme tersebut di atas, agaknya mengalami kerapuhan pada pondasi etisnya dan upaya perwujudannya, karena tidak melibatkan –meminjam bahasa Hans Kung (1991)- etika bersama yang mengikat secara transenden, yakni sebuah etika bersama yang di dalam pandangan etisnya memiliki garis vertikal kepada Yang Absolut. Lalu, di atas landasan apa etika bersama itu hendak dibangun?. Dengan melihat berbagai dimensinya, hemat penulis, nampaknya agama mampu memainkan peran itu. Selain merupakan fenomena universal manusia, agama juga merupakan dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak mudah –untuk tidak mengatakan tidak mungkin- tergantikan oleh ideologi lain, baik humanisme ateistik ala Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel, atau pun yang lain. Agama, nampaknya tampil dengan sangat meyakinkan karena memberikan basis absolutisitas dan keharusan moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun. Tuntutan etis serta keharusan tanpa syarat itu hanya bisa didasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat dan yang Absolut.

Karena agama –apapun namanya- memiliki keyakinan pada the Ultimate Reality (Tuhan), maka diyakini mampu memainkan peran sebagai basis etika bersama yang mengikat secara transenden sebagaimana penulis maksudkan. Etika transenden yang berasal dari otoritas absolut itulah yang memungkinkan bisa menjamin kepastian nilai-nilai tertinggi, norma-norma tak bersyarat, motivasi terdalam, serta ideal-ideal tertinggi. Kembali kepada landasan etis agama bukan berarti menganjurkan ke arah gerakan revivalisme agama, apalagi yang sektarian, sebagaimana pernah ditunjukkan oleh revivalisme Islam. Melainkan hendak merumuskan, sekaligus mengafirmasi potensi agama-agama untuk membangun landasan etis bersama bagi upaya mengatasi krisis lingkungan yang mengikat secara transenden. Etika bersama ini tentu saja dibangun dari agama transformatif yang menyejarah, yang berjuang bersama perubahan dan kefanaan, dan terlibat dalam menyelesaikan krisis dan keprihatinan umat manusia.

Juga bukan sedang menjebakkan diri ke dalam esensialisme baru dan menyingkirkan apa yang dianggap non-esensial, sebagaimana pernah praktekkan oleh alam pikiran modern dengan esensi rasionalitasnya. Melainkan hendak mencari alternatif landasan etis sekaligus memperkokoh pondasi etis etika-etika lingkungan yang telah ada sebelumnya. Jadi upaya mengatasi krisis lingkungan, secara etis, harus melibatkan berbagai landasan etis yang memang benar-benar memposisikan manusia dan alam sama-sama derajatnya, baik dalam ketinggiannya (biosentrisme dan ekosentrisme), maupun dalam kerendahannya (etika kepedulian) sekaligus membingkainya dengan etika bersama yang mengikat secara transenden. Etika semacam ini bukan sekedar teori moral, melainkan juga sebuah ecosophy karena mencakup teori dan kearifan hidup (wisdom). Jika krisis lingkungan tidak hanya disebabkan oleh perilaku teknis, tetapi juga disebabkan oleh ecosophy yang salah, maka upaya mengatasi krisis lingkungan juga bisa dimulai dari ecosophy yang memposisikan secara tepat hubungan manusia di dalam ekosistem.

Lalu, bukankah agama merupakan pendukung utama nalar antroposentrisme yang menyebabkan krisis lingkungan? Kenyataan ini memang sulit terbantahkan, sebagaimana pernah penulis kemukakan di muka. Akan tetapi siapa pun tidak bisa begitu saja melupakan bahwa ajaran agama-agama bukankah menyerukan manusia untuk ramah terhadap lingkungan? Surat ar-Ruum ayat 41, al-Baqarah ayat 11-12, 27, 60, 205, Surat Ali Imran ayat 63, Surat al-Maidah ayat 32-33, 64, Surat al-A’raf ayat 56, 74, 85, Surat Huud 85, 116, Surat ar-Ra’du ayat 25, Surat an-Nahl ayat 88, Surat as-Syu’ara ayat 151-152, 183, Surat al-Qashash ayat 77, 83, Surat al-Ankabuut ayat 36 dan surat as-Shaad ayat 28, dll merupakan sebagian dari sekian banyak seruan agama untuk ramah terhadap lingkungan. Hemat penulis jika toh manusia memiliki kedudukan yang tinggi (khalifah) ia tidak lain adalah “aristokrat biologis” yang memiliki tanggungjawab moral dan harus melayani spesies dan alam semesta yang status biologisnya lebih rendah, bukan justru memanfaatkan kelemahan alam. Dan bukankah agama-agama pada dasarnya lahir tidak lepas dari situasi histoiris? Dengan demikian agama membutuhkan pikiran-pikiran kreatif dari umatnya agar pesan-pesannya tetap kontekstual (shahih li kuli al- zaman wa al-makan).

* Penulis adalah mahasiswa Kajian Lingkungan Program Pascasarjana Magister Lingkungan dan Perkotaan UNIKA Soegijapranata Semarang. Aktif di Institut Lintas Humaniora dan Agama (ILHAM Institute) Semarang. Tulisan ini pernah dimuat di Harian AWASAN pada tanggal 1 Februari 2008

posted by RUSMADI the rose @ 11.55.00   0 comments
Yang Sempalan dan Yang Ortodoksi

Oleh: Rusmadi*


Pemikiran manusia hampir-hampir selalu diwarnai dengan “perseteruan” antara dua kubu yang berbeda secara diametral. Dari perseteruan antara empirisme dengan idealisme, kemudian skolastisisme dengan rasionalisme, modernisme dengan post-modernisme, strukturalisme dengan konstruksionisme-fenomenologis, hingga pemikiran kiri dengan pemikiran kanan. Dalam pemikiran keagamaan juga tidak sepi dari perseteruan yang begitu akrobatik. Kita menyaksikan bagaimana skripturalisme selalu berhadapan dengan kontekstualisme, liberalisme dengan fundamentalisme, konservatifisme dengan progresifisme, konsepsi Negara Agama dengan Negara Sekuler, dan arus pemikiran ortodoksi yang mapan (establish) dengan pemikiran “pendatang baru” yang dianggap sempalan (heresy).
Mengasumsikan semua varian pemikiran selalu berada dalam panggung perseteruan, tentu tidak selamanya bisa dibenarkan. Setidaknya akan di-cap terlampau gegabah menganggap semuanya selalu bersitegang dalam panggung perseteruan, karena pada kenyataannya tidak jarang terdapat seseorang yang di dalam dirinya melekat berbagai identitas, termasuk identitas pemikiran. Misalnya, dalam beberapa hal ia adalah seorang fundamentalis, tetapi pada beberapa hal yang lain ia begitu liberal. Dan dalam beberapa hal ia adalah seorang pengagum post-modernisme, tetapi pada beberapa hal yang lain ia adalah pendukung setia modernisme, dalam beberapa hal ia begitu tegas berada di arus progresifisme, tetapi pada beberapa hal yang lain ia begitu condong ke konservatifisme.
Kendati demikian, kita tidak bisa melupakan begitu saja bahwa sejarah pemikiran manusia tidak selamanya menunjukkan panorama yang lurus, teratur dan selalu mengikuti kaidah-kaidah kepatutan tradisional atau taat asas pada mainstream tertentu. Terjadinya sengketa tajam antara kalangan agamawan dengan pemikir besar sekaliber Copernicus, Feurbach, Marx, dan juga Nietszche memberikan lanskap pemikiran yang berisi gugatan terhadap pemikiran agamawan yang kokoh. Munculnya paradigma baru pemikiran Islam Indonesia yang dinahkodai oleh garda depan liberalisme Islam juga menunjukkan hal serupa. Sejak kosmopolitanisme agama yang diusung oleh Gus Dur, dan modernisasi pemikiran ala Nurcholis Madjid, hingga liberalisme Islam yang ditegakkan oleh kelompok intelektual muda Utan Kayu. Apa yang digagas oleh setidaknya ketiga kaukus tadi merupakan salah satu dari sekian banyak pertunjukan “ketidaktaatan asas” pada mainstream tertentu, atau setidaknya melakukan gugatan terhadap pemikiran yang mapan yang didominasi oleh konservatisme. Dengan demikian, cukup beralasan kiranya jika sejarah pemikiran manusia dianggap selalu diwarnai dengan “adegan perseteruan”.
Kasus penyesatan terhadap Ahmadiyah, Salamullah, dan al-Qiyadah al-Islamiyah oleh MUI -yang kemudian didukung oleh kelompok aliran pemikiran keagamaan ortodoksi yang mapan- bukankah salah satu dari bentuk “perseteruan” dua kubu, yakni antara yang dianggap sesat dan sempalan (heresy) dengan aliran pemikiran arus utama (ortodoksi)?. Menjadi relevan apa yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rahmat (2005), bahwa Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat: ia senantiasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari –di rumah, kantor, media, pasar dan di mana saja. Begitu misterius: ia sering menampakkan wajah-wajah yang tampak berlawanan –memotivasi kekerasan tanpa belas kasihan, pengabdian tanpa batas, mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan tahayul dan superstisi, menciptakan gerakan masa paling kolosal, atau menyingkap misteri ruhani paling personal, memekikkan perang paling keji atau menebarkan kedamaian paling hakiki.
Mengikuti apa yang dikemukakan oleh Kang Jalal di atas, agama benar-benar sedang menampakkan wajahnya yang begitu misterius itu. Orang berbondong-bondong dan “bersimbah” di hadapan pemimpin agama baru atau di hadapan pemimpin agama dengan gaya baru, karena mampu menyingkap misteri paling personal tentang hidup dan kehidupan manusia, dengan menumbuhkan kesadaran baru dan spiritualitas yang tinggi yang terkadang melampaui rasionalitas kebanyakan. Sementara di sisi lain, terdapat juga dimana atas nama agama seseorang begitu termotivasi untuk melakukan tindakan kekerasan dan melanggar hak-hak seseorang untuk mengekspresikan keyakinan keagamaannya dan pengalaman spiritualnya.
Jika kita berpikir bijak pada kasus perseteruan antara yang sempalan dan yang ortodoksi sebagaimana kasus Ahmadiyah, Salamullah dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah, maka penting bagi kita untuk “menunda” terlebih dulu klaim benar dan klaim sesat ataupun sempalan yang dilekatkan pada pemikiran keagamaan “pendatang baru”. Mengapa? karena terdapat dua persoalan mendasar, tetapi acap kali luput dari perhatian sebagian orang.
Pertama; perseteruan itu berlangsung tidak secara seimbang. Pemikiran arus utama (ortodoksi) yang begitu mapan dan menjadi mainstream kebanyakan masyarakat agama di Indonesia menjadi sedemikian kuat karena berlindung di bawah alat kekuasaan negara. Sementara yang dianggap sempalan hanya berlindung di bawah pemikiran keagamaan yang diyakininya. Posisi negara yang (seolah-olah) berada di belakang arus ortodoksi, menjadikan diskriminasi, kekerasan agama (religious apartheid) dan pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh beberapa kelompok ortodoksi dianggap wajar.
Kedua; istilah sempalan dan ortodoksi sebenarnya sangat kontekstual, bergantung situasi, ruang dan waktu. Dinamika, serta kontekstualitas ortodoksi dan sempalan ini, dalam sejarahnya bisa kita lihat dalam dinamika faham Aqidah Asy’ariyah yang sekarang merupakan ortodoksi. Pada masa ‘Abbasiyah, Aqidah Asy’ariyah pernah dianggap sesat, ketika ulama Mu’tazili (yang waktu itu didukung oleh penguasa) merupakan golongan yang dominan. Dengan demikian, faham yang sekarang dipandang sebagai ortodoksi juga pernah merupakan sejenis “gerakan sempalan”. Bukankah kembalinya faham Asy'ariyah menjadi ortodoksi juga tidak lepas dari faktor politik?. Contoh yang lain misalnya, dalam kasus pergulatan Tradisionalisme dan Modernisme Islam di Indonesia pada awal abad ke-20. Bukankah dulu kalangan modernis dianggap sempalan oleh kalangan tradisionalis yang menganggap dirinya mewakili Ahlus Sunnah wal Jama'ah? Dan bukankah sekarang sama-sama menjadi ortodoksi dan mainstream pemikiran keagamaan di Indonesia? Setidaknya dua contoh di atas menunjukan betapa persoalan sempalan dan ortodoksi merupakan persoalan yang sangat kontekstual.

Reformasi Politik Keagamaan
Kedua persoalan mendasar tersebut di atas nampaknya tepat untuk melihat bagaimana perseteruan yang terjadi antara aliran pemikiran keagamaan “pendatang baru” seperti kelompok Ahmadiyah, Salamullah, dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dicap sempalan dan sesat dengan kelompok pemikiran keagamaan ortodoksi yang berdiri di bawah kekuasaan negara. Peristiwa pen-cap-an sesat dan sempalan, tak ubahnya merupakan praktek relasi kuasa pengetahuan yang sedang dimenangkan oleh kelompok ortodoksi karena melibatkan negara sebagai tamengnya. Dengan demikian diskusi kita menjadi mau tidak mau, suka atau tidak suka membuka kembali diskursus lama (tetapi tetap saja hangat) mengenai hubungan Agama dan Negara. Politik keagamaan yang diskriminatif yang dipraktekkan pada masa kolonial Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang nampaknya merupakan salah satu akar dan peletak batu pertama bangunan hubungan Agama dan Negara di Indonesia yang sampai sekarang masih bisa disaksikan.
Pluralitas keagamaan tidak lagi menjadi nilai yang benar-benar layak untuk dihidupkan, karena dianggap bertentangan dengan “kebenaran yang hakiki”. Tetapi sayangnya kebenaran yang hakiki ini hanya boleh dimiliki oleh kelompok agama-agama atau aliran keagamaan yang sudah mapan dan menjadi mainstream. Sementara yang lain (agama-agama baru dan aliran keagamaan baru) tidak lebih dari gerakan sempalan yang sesat dan tidak berhak memiliki “kebenaran hakiki”. Juga tidak berhak untuk tampil sejajar dengan agama-agama atau aliran keagamaan ortodoksi yang telah mapan (establish) dan menjadi arus utama pemikiran Islam Indonesia. Padahal, sempalan dan ortodoksi hanyalah sesuatu yang bersifat kontekstual sesuai dengan ruang dan waktu. Dalam ruang dan waktu itulah ortodoksi ditentukan oleh relasi kuasa pengetahuan. Artinya, dalam banyak hal, ortodoksi adalah faham yang didukung oleh penguasa, sedangkan faham yang tidak disetujui dicap sesat dan dianggap agama sempalan (agama pinggiran). Oleh karenanya, gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan terhadap faham dominan dan sekaligus merupakan protes sosial atau politik.
Perseteruan antara kelompok pemikiran yang mainstream dengan yang dianggap sempalan, jika tidak segera mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak, maka bukan tidak mungkin akan menjadi bom waktu konflik horisontal, yang sewaktu-waktu meledak dan mengancam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI, karena menolak kemajemukan dan pluralitas identitas yang menjadi “ke-khas-an” Indonesia. Maka, pada akhirnya reformasi politik keagamaan memang harus mulai didiskusikan oleh masyarakat agama di Indonesia. Menghargai kenyataan keragaman keberagamaan masyarakat harus ditempatkan pada posisi yang paling penting. Pada konteks ini, gagasan Agama Sipil (Civil Religion) merupakan tawaran yang pantas untuk diberikan apresiasi. Tidak hanya karena pilihan agama sipil merupakan upaya refigurasi agama di tengah regulasi keagamaan dan transformasi global secara sekaligus. Tetapi juga, jika dibandingkan dengan cara penaklukan negara di bawah payung agama atau isolasi separatis, agama sipil nampaknya merupakan pilihan yang benar-benar memperhatikan ke-khas-an Indonesia, karena lebih menerima keberagaman keberagamaan dan keberagaman suara publik. Agama sipil bukanlah sebentuk Super Religion, melainkan bagaimana nilai-nilai agama mampu menjadi spirit kehidupan masyarakat yang demokratis.
Pilihan refigurasi ke dalam agama sipil dimainkan dengan mengedepankan agama publik dengan tetap menjaga jarak dari mesin negara yang represif. Dengan kata lain, agama dibawa ke arena publik, tetapi dengan tetap menjaga independensinya agar pesan-pesannya menjadi begitu jelas. Dengan demikian, agama harus siap untuk menjadi penyeimbang dan kritik terhadap negara dan pasar, bukan memberikan kepada keduanya kekuasaan sosial yang lebih besar. Juga bukan malah menentang realitas pluralisme sebagai kenyataan.
Akhirnya, Agama Sipil hanya akan tumbuh ketika masyarakat memiliki perangkat yang memadai dan memiliki paradigma berpikir yang optimistis, tidak berpikir dalam kerangka oposisi biner (hitam-putih), serta menghargai hak asasi manusia yang notabene-nya plural. Dari sanalah akan tumbuh sesuatu yang disebut sebagai negara demokratis, sebuah negara yang diperintah tidak berdasarkan pemaksaan-pemaksaan dan otoritarianisme. Jika gagasan agama sipil ini dipraktekkan oleh masyarakat luas, maka sejatinya mereka akan menemukan makna di balik keberislamannya (misalnya), sehingga berislam bukan hanya berbasiskan pada perspektif teologis an sich yang menekankan pada simbol dan ketundukan yang tidak kritis.

* Penulis adalah Staf Ahli bidang Riset dan Mediasi pada ILHAM Institute, dan mahasiswa Program Pascasarjana Lingkungan dan Perkotaan UNIKA Soegijapranata Semarang. Tulisan ini pernah dimuat pada Harian WAWASAN tanggal 14 Februari 2008
posted by RUSMADI the rose @ 11.52.00   0 comments
About Me

Name: RUSMADI the rose
Home: Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia
About Me: ... adalah Staf Ahli Bidang Riset dan Mediasi pada ILHAM Institute Semarang. aktif di LAKPESDAM NU Jawa Tengah. pendidikannya sering meloncat-loncat, pernah di pesantren, pernah sekolah di IAIN Walisongo Semarang, dan saat ini sedang melanjutkan sekolahnya pada Program Pascasarjana Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata Semarang. kadang-kadang masih suka membaca, dan berorganisasi. cita-citanya sih kayaknya tinggi banget, tapi gak tahu apa yang dicita-citakan, soalnya cita-cita kata bocah katrok satu ini tidak boleh diomongain tapi dijalanin, soalnya kalau hanya keinginan so pasti banyak yang bisa, tapi kalau udah "perjuangan" susah cari orang yang mau, he he he... moto hidupnya aja keren abis, "keras dalam prinsip lunak dalam bertindak" ...
See my complete profile
Previous Post
Archives
Links
Powered by

BLOGGER

© 2005 kampoeng djoglo Blogspot Template by Isnaini Dot Com